JAKARTA, KOMPAS.com - Jajak pendapat yang diselenggarakan Litbang Kompas pada awal April 2023 menunjukkan bahwa mayoritas publik setuju bahwa negara berhak merampas aset penyelenggara negara yang tidak wajar dan berasal dari sumber yang tidak sah.
"Hasil jajak pendapat juga merekam 78,5 persen responden sepakat negara berhak melakukan perampasan aset penyelenggara negara jika aset tersebut tidak sesuai dengan harta kekayaan yang dilaporkan," tulis Litbang Kompas, dikutip dari Kompas.id, Senin (10/4/2023).
"Termasuk apabila pejabat publik tidak dapat membuktikan penghasilan tersebut berasal dari sumber yang sah," tulis Litbang Kompas lagi.
Baca juga: Survei Litbang Kompas: RUU Perampasan Aset Mendesak untuk Dibahas dan Diundangkan
Sementara itu, hanya ada 15,2 persen responden yang tidak setuju, sedangkan 6,3 persen responden menjawab tidak tahu.
Menurut Litbang Kompas, opini publik ini selaras dengan semangat yang termuat dalam RUU Perampasan Aset Tindak Pidana.
Seperti diketahui, RUU tersebut memiliki substansi utama yakni aset yang diperoleh pejabat negara dari pendapatan yang tidak wajar, serta tidak dapat dibuktikan diperoleh secara sah dan diduga terkait aset tindak pidana, dapat dirampas untuk negara.
Survei yang sama juga menangkap bahwa mayoritas publik menilai RUU Perampasan Aset mendesak untuk segera dibahas dan diundangkan.
Baca juga: Masyarakat Diajak Duduki DPR jika RUU Perampasan Aset Mandek
Berdasarkan survei ini, sebanyak 82,2 persen responden menilai RUU Perampasan Aset mendesak untuk dibahas dan diundangkan, bahkan 35,5 persen responden menganggapnya sangat mendesak.
Hanya ada 12,1 persen dan 1,5 persen responden yang menilai RUU Perampasan aset tidak mendesak dan sangat tidak mendesak untuk disahkan.
Litbang Kompas menyebutkan, opini itu muncul sama kuatnya dari tiap lapisan masyarakat, bahkan publik yang punya preferensi politik berbeda juga menyampaikan desakan yang sama.
"Artinya, persoalan perampasan aset pada pelaku perampok uang negara ini menjadi kegelisahan di berbagai lapisan masyarakat," tulis Litbang Kompas.
Baca juga: Jokowi Diyakini Didukung Rakyat buat Dorong RUU Perampasan Aset ke DPR
Mayoritas publik (87,9 persen) pun memandang bahwa salah satu alasan maraknya korupsi di Indonesia disebabkan oleh masih lemahnya untuk memiskinkan pelaku korupsi.
Selaras dengan itu, sebanyak 8,6 persen dan 52,7 persen publik sangat yakin dan yakin bahwa RUU Perampasan Aset akan menjadi hukum yang kuat untuk memberi efek jera pelaku korupsi.
"Jadi, mempercepat proses pengesahan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana menjadi undang-undang adalah sebuah jawaban dari harapan publik," tulis Litbang Kompas.
Survei ini diselenggarakan pada 4-6 April dengan melakukan wawancara terhadap 506 responden dari 34 provinsi yang sampelnya ditentukan secara acak sesuai proporsi jumlah penduduk di tiap provinsi.
Baca juga: Draf RUU Perampasan Aset Belum Jelas, Keluhan Mahfud MD Dianggap Gimik
Menggunakan metode ini, pada tingkat kepercayaan 95 persen, margin of error penelitian ini -/+ 4,36 persen dalam kondisi penarikan sampel acak sederhana.
Untuk diketahui, Presiden Joko Widodo sudah bolak-balik menyatakan bahwa RUU Perampasan Aset perlu segera dituntaskan dalam rangka mempermudah pemberantasan korupsi.
Akan tetapi, saat ini RUU Perampasan Aset Tindak Pidana masih dalam tahap penyelesaian draf dan naskah akademik. Hingga akhir pekan lalu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belum menerima surat presiden terkait RUU ini.
Surat presiden tersebut belum bisa dikirim karena Menteri Keuangan, Jaksa Agung, dan Kepala Polri belum memberikan persetujuan terhadap draf regulasi tersebut.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.