BUNG Karno dalam pidato pembukaan Kongres Nasional Ke-8 BAPERKI di Istana Olahraga Gelora "Bung Karno", pada 14 Maret 1963, memberitahukan bahwa pemimpin itu, bukanlah orang yang mengakat diri sendiri menjadi pemimpin. Pemimpin yang benar pemimpin, adalah perasan dari perjuangan.
Amanat Presiden Pertama RI ini menjadi relevan manakala kita simak dalam hari-hari belakangan ini. Sejumlah orang sudah mencalonkan diri menjadi pemimpin ataupun dideklarasikan menjadi pemimpin dalam konteks putaran Pemilu 2024.
Bersamaan pula pernyataan Bung Karno itu mempertegas kontektualitas bahwa pemimpin adalah sosok harapan yang ideal.
Dengan demikian, representasi ini dalam kebutuhan kepemimpinan nasional –termasuk kepemimpinan pemerintahan-- diperlukan penguasaan ilmu pengetahuan yang kuat, disiplin, serta merefleksikan karakter bangsa.
Bilamana kita menelusuri lewat teori sosial (lawan teori genetis), pemimpin harus punya jam terbang tinggi. Harus disiapkan, dididik, dan dibentuk, tidak terlahirkan begitu saja.
Ada harapan yang terpresentasikan untuk memilih sebaik-baiknya pemimpin. Menurut filsuf abad 10, Abu Hamid Al Ghazali, sebaik-baiknya pemimpin ialah “beradab dan mulia hati".
Atau kita pakai pengertian pemimpin yang efektif terhadap keadaan kontemporer ini, seperti yang dikatakan penulis abad 20, Peter F. Drucker, "Pemimpin yang efektif bukan soal pintar berpidato dan mencitrakan diri agar disukai; kepemimpinan tergambar dari hasil kerjanya, bukan atribut-atributnya."
Hari-hari belakang ini dalam babak-babak awal konstelasi Pemilu 2024, telah ada sejumlah partai politik (parpol) bergegas sibuk menggalang koalisi untuk menghadirkan sosok pemimpin negara, agar kita pilih.
Kesibukan-kesibukan ini, bagaimanapun, bagian dari ekspresi harapan kita juga untuk mempunyai sebaik-baiknya pemimpin ”beradab dan mulia hati.”
Dalam episode memilih pemimpin ini bukan saja tersemayam harapan, juga terselipkan tuntutan.
Tuntutan ini bisa secara gamblang agar pemimpin berkesesuaian dengan opini (politik) yang kita apungkan, atau secara halus mengakomodasikan aspirasi kita atas nama aspirasi rakyat.
Dari sana terejawantahkan strategi sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Dalam istilah Bung Karno –perasan. Maka perasan ini menjadi bagian dari elemen bangsa yang bernilai strategis.
Oleh karena itu, karakter bangsa yang terakomodasi dalam sosok pemimpin begini, perlu didukung pula dengan sikap kenegarawanan dan profesionalisme yang tinggi, yang bebas dari bias-bias diskriminasi dan dikotomi parsial. Ini semua demi terwujudnya cita-cita dan tujuan nasional bangsa Indonesia.
Tetapi lebih jauh, bagi seorang pemimpin bermodalkan kecerdasan, pengendalian emosional, sampai spiritual, maupun bermodalkan uang –tidaklah cukup, melainkan diperlukan pula modal sosial.
Modal sosial ini, antara lain, kepercayaan rakyat pada pemimpinnya, dan kejujuran pemimpin pada rakyatnya.