“Aku selalu menghargai kaum yang kreatif. Yang punya ide-ide yang berani, yang punya fantasi yang menyundul langit.” – Soekarno.
BAGI anak-anak muda yang saat ini dipercaya rakyat – melalui pemilihan langsung tentunya - menjadi kepala daerah atau memimpin dewan, tentunya bukan perkara mudah. Mereka harus merelakan kepentingan pribadinya “mengalah” kepada kepentingan rakyat yang dipimpinnya.
Sahabat saya yang mantan wartawan dan kini didapuk sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Surabaya, Adi Sutarwijono begitu “habis” waktunya melayani keperluan dan keluhan warga Surabaya. Setiap ada pengaduan, dirinya tidak segan-segan menemui warga di gang-gang yang sempit dan bermusyawarah di pos ronda.
Kediaman resminya terbuka untuk umum sepanjang hari. Kadang saya tidak bisa membedakan penampilan Adi saat masih menjadi kuli tinta dengan “kuli” rakyat sekarang ini. Penampilannya sami mawon, sangat semenjana. Sementara ketua DPRD di daerah-daerah lain begitu klimis dan parlente.
Baca juga: Kisruh Konfercab PDI-P Surabaya Berakhir, Adi Sutarwijono Dilantik Gantikan Wisnu Sakti Buana
Mirip dengan Adi Sutarwijono, ada Me Hoa yang menjadi Ketua DPRD Bangka Tengah, Bangka Belitung, malah waktunya “habis” bersama warga ketimbang duduk nyaman di kantornya. Me Hoa begitu mudah dijumpai di rumah-rumah warga yang butuh pengobatan, warga yang tertimpa bencana dan warga yang butuh pertolongan saat ada kematian. Politisi perempuan itu membuktikan dirinya layak menjadi tumpuan harapan warga di saat susah dan sengsara.
Di Ngawi, Jawa Timur saya kenal betul dengan Ony Anwar Harsono yang dipercaya menjadi bupati. Perhatiannya begitu besar terhadap pertanian. Ony sadar betul, dengan majunya pertanian di daerahnya maka akan bisa mengatrol kehidupan warganya menjadi sejahtera.
Perjuangan Bupati Ony tidak sia-sia, Ngawi kini mendapat predikat nomor satu secara kumulatif sebagai kabupaten dengan produksi gabah tertinggi di Tanah Air. Bahkan kini Ony mulai “melirik” potensi pariwisata dengan akan diresmikannya Benteng “Pendem” Van De Bosch – yang dibangun kolonial Belanda tahun 1861 – oleh Presiden Joko Widodo beberapa bulan mendatang.
Peningkatan produktivitas pertanian, penggalakan potensi pariwisata dan pemberian ruang kreativitas untuk anak-anak muda hingga Ngawi dikenal sebagai “kampiunnya” aliran dangdut koplo berbahasa Jawa menjadikan Ngawi sekarang ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Didi Kempot dan Denny Caknan adalah seniman asal Ngawi yang membawa harum nama Ngawi.
Dari Trenggalek, Jawa Timur ada penggemar sepak bola dan sejak dulu aktif dalam kegiatan kerakyatan dipercaya warga menjadi bupati. Namanya Mochamad Nur Arifin. Di tangannya, Trenggalek tidak lagi “ndeso”.
Koperasi yang bagi banyak kepala daerah tidak dilirik, di tangan Gus Ipin – demikian panggilannya – dihela dengan kesungguhan. Beberapa koperasi yang dikelola warga berhasil menjadi besar. Memiliki beragam usaha, mulai dari simpan pinjam hingga penyewaan alat pesta. Bahkan koperasi ala pedesaan tetapi dikelola dengan cara modern, bisa menyediakan dana pertanggungjawaban sosial atau CSR bernilai miliaran rupiah untuk pembangunan sosial desa.
Gus Ipin merangkul anak-anak muda yang suka “nyinyir’ di media sosial untuk aktif terlibat dengan bersedekah informasi mengenai kemiskinan. Informasi dari netizen menjadi penyelaras data akurat bagi penanggulangan kemiskinan. Kini pola penanganan kemiskinan di Trenggalek banyak dipelajari dan dicontoh daerah lain.
Di Jawa Tengah, Gubernur Ganjar Pranowo dengan gaya kerakyatannya terus mengurai satu per satu persoalan di daerahnya. Sinergitas dengan para kepala daerah, membuat persoalan yang muncul cepat di petakan dan dipecahkan.
Gaya kepemimpinan Ganjar begitu “gayeng” dan tidak rumit serta rajin turun ke lapangan menjadi penguat konsolidasi penanganan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan. Ganjar juga terus menekankan semua instansi di Jawa Tengah menjadi zona nol toleransi korupsi.
Baca juga: Pasangan Ony Anwar-Dwi Rianto Lawan Kotak Kosong di Pilkada Ngawi 2020
Jika parameter keberhasilan kepemimpinan dinilai dengan ganjaran pernghargaan, tentu Ganjar sudah mengoleksi semua anugerah itu. Justru saya lebih condong kepada peningkatan pendapatan riil yang diterima warga di Jawa Tengah serta turunnya angka pengangguran dan kemiskinan.
Demikian pula tendensi penurunan angka kematian ibu melahirkan, turunnya angka stunting provinsi serta indeks kebahagian yang meningkat, Ganjar telah memperlihatkan karakteristik kepemimpinan kerakyatan yang dirindukan. Mirip bahkan copy paste dengan elan kepemimpinan Joko Widodo yang sohor dengan gaya “blusukkannya”. Tidak ada jarak, mengabaikan aturan protokoler yang ketat serta tidak ”jaim” alias jaga image.