Padahal dalam manajemen komunikasi di partai politik terkiwari, peran spokes person partai begitu strategis. Tidak sekadar mengumpulkan wartawan dan bagi-bagi pers release.
Di saat Megawati memiliki kematangan politik yang optimal, di jajaran dewan pimpinan pusat partai dulu ada nama Fatimah Achmad (walau akhirnya menyeberang ke kubu PDI Soerjadi), ada mendiang Hera Tarto Soediro, atau mantan Wasekjen Agnita Singedikane yang menjadi teman diskusi karena pautan usianya di antara mereka tidak terlalu jauh. Megawati tidak lagi memiliki Theo Syafei yang jernih berargumen.
Di jajaran DPP PDIP sekarang ini, rentang usia Megawati dengan “anak buahnya” begitu jauh. Sikap “ewuh pakewuh”, segan dan “sungkan” memberi masukan serta disolasinya Megawati karena pandemi kemarin, membuat Megawati kehilangan “touching” dan kekurangan masukan.
Megawati harus mendapat asupan-asupan terkini agar tidak “gagap” dengan gaya komunikasi kekinian yang pada akhirnya merugikan dirinya dan PDIP karena ketidakmampuan publik mencerna gaya bahasanya.
Padahal, politik senantiasa terpaut dengan narasi. Bahkan politik adalah sebentuk narasi tentang konflik rasionalitas tentang definisi dan praktik keadilan, kepemimpinan dan kekuasaan dalam ruang sosial.
Paparan berkebalikan pun bisa diuraikan bahwa narasi adalah sebentuk politik. Setiap narasi adalah perjuangan tekstual baik itu wicara atau bicara-tulisan untuk membuat sebuah hal-ihwal diterima.
Bahkan membuat hal-ihwal yang lain ditolak atau setidaknya ditunda untuk diterima dalam ruang sosial.
Narasi adalah pewacanaan diri sendiri dari sang aparatus untuk memenangkan modal sosial berupa expertition atau otoritas sebagai ahli sehingga percakapan dan pengujarannya sah dikarenakan dilakukan oleh ahli yang terlatih.
Uncle Ben dalam film The Amazing Spider Man berujar kepada Peter Parker, anak muda yang menjadi tokoh Spider Man: ”Ayahmu hidup dengan filosofi, dengan prinsip yang benar. Dia percaya bahwa jika kau bisa melakukan hal baik untuk orang lain maka kau punya kewajiban moral untuk melakukan hal itu. Itu yang harus dipatuhi di sini. Bukan pilihan. Tapi tanggung jawab”.
Dari percakapan ini tersirat sebuah fondasi moral yang bisa diasumsikan sah, padahal kesahihan tersebut bertahta di atas praktik yang sangat tidak sah. Sebuah asumsi ; “Jika kau bisa melakukan hal baik untuk orang lain maka kau punya kewajiban moral untuk melakukan hal itu. Itu yang harus dipatuhi di sini. Bukan pilihan. Tapi tanggung jawab”.
Mengapa bukan pilihan? Mengapa harus tanggung jawab? Jawabnya sederhana; bukan karena koherensi aksiologis tetapi karena posisi sejarah.
Spider Man adalah sang manusia laba-laba merah dan biru adalah citra sempurna tentang empire yang menguasai, mendistribusikan, mengevaluasi sumber daya dunia melalui jejaring predatoris teknologi komunikasi, transportasi dan militer (Syamsul Asril dalam Jurnal Dakwah Tabligh, Vol.4, No. 2 Desember 2013 : 227 – 238).
Konteks narasi dari perkataan Megawati mengenai “kasihan dah Jokowi” bukanlah hinaan yang merendahkan marwah seorang Presiden, tetapi warning Megawati tentang beban tugas Jokowi untuk terus merawat dan meruwat sejarah.
Proses perjalanan politik yang demikian berlika-liku harus terus diingat dan disyukuri dan diejahwantakan dalam kebijakan-kebijakan pemerintah yang pro-rakyat.
Sejatinya, perjuangan yang tengah dilakukan Jokowi kemarin, sekarang dan hingga akhir pengabdian nanti sungguhlan berat.
Bung Karno pernah berkata, perjuanganku begitu mudah karena mengusir penjajah tetapi perjuanganmu sungguhlah berat karena melawan bangsamu sendiri.
Dan terbukti, Jokowi tidak saja melawan kekuatan asing yang memaksakan kehendak mendapatkan kekayaan alam, monopoli dan tipu daya transaksi dagang yang berkolaborasi dengan komprador antek-antek asing, tetapi juga melawan bangsanya sendiri.
Anak bangsa yang selalu memandang apapun yang dikerjakan Jokowi selalu salah di mata mereka. Dan Megawati tidak ingin, Jokowi lengah dan terbuai dengan tepukan lawan yang berkedok rupa sebagai kawan “abal-abal”.
“Jikalau ingin merdeka sejati-jatinya merdeka, milikilah jiwa yang merdeka. Jiwa merdeka itu, jiwa yang tak segan bekerja dan memberi.” – Ir. Soekarno.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.