JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) meminta publik tidak hanya fokus pada vonis mati yang dijatuhkan pengadilan ke terpidana pemerkosaan 13 santriwati, Herry Wirawan.
Menurut anggota Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi, tak kalah penting untuk memastikan hak-hak korban terpenuhi.
"Dari putusan ini, kami mengajak untuk memantau pelaksanaan pemenuhan hak-hak korban," kata Aminah kepada Kompas.com, Rabu (4/1/2023).
Baca juga: Jejak Kasus Herry Wirawan, Pemerkosa 13 Santriwati yang Kini Menanti Hukuman Mati
Menurut Aminah, yang paling utama bagi korban ialah pulih dan mampu melanjutkan hidup mereka. Oleh karenanya, pendampingan intensif terhadap korban sangat diperlukan.
Korban juga berhak atas restitusi atau ganti rugi dan mendapat pembiayaan untuk merawat anak hasil perkosaan.
Perlu diingat, korban perkosaan Herry Wirawan mencapai 13 orang. Dari jumlah tersebut, lahir 9 bayi dari 8 korban.
"Jadi putusan ini jangan hanya dilihat pada pidana matinya saja, tapi juga putusan terkait dengan pemenuhan hak-hak korban," ujar Aminah.
Kendati demikian, Komnas Perempuan mengaku menghormati putusan Pengadilan Tinggi (PT) Bandung terkait vonis mati terhadap Herry Wirawan, yang lantas diperkuat oleh Mahkamah Agung (MA) di tingkat kasasi.
Baca juga: Kasasi Ditolak, Herry Wirawan, Pemerkosa 13 Santriwati, Tetap Divonis Mati
Namun begitu, Komnas Perempuan tetap pada sikapnya, menolak pidana mati untuk kasus apa pun. Sebagai salah satu lembaga nasional hak asasi manusia (HAM), Komnas Perempuan menilai, pidana mati melanggar hak hidup seseorang.
Menurut Aminah, pidana mati tak menimbulkan efek jera, termasuk dalam kekerasan seksual. Sebabnya, sebelum Herry, vonis mati juga pernah dijatuhkan ke pelaku tindak pidana seksual lainnya.
"Jika dilihat bahwa pidana mati yang pernah dijatuhkan pada terpidana lain sebelum Herry Wirawan, berarti pidana mati tidak menimbulkan efek jera," katanya.
Aminah mengatakan, tujuan pemidanaan saat ini sudah berkembang sedemikian rupa, salah satunya adalah memanusiakan manusia, tak terkecuali untuk para terpidana. Oleh karenanya, menurut dia, hukuman mati bukan cara yang paling efektif untuk menimbulkan efek jera.
"Untuk korban, yang terutama adalah mereka pulih dan mampu melanjutkan hidupnya, dan terpenuhi hak haknya," kata dia.
Adapun dalam kasus ini mulanya Pengadilan Negeri Bandung menjatuhkan vonis penjara seumur hidup terhadap Herry. Putusan itu lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) yang meminta Herry dihukum mati.
Atas vonis tersebut, JPU mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Bandung. Gugatan itu dikabulkan, Herry pun dijatuhi hukuman mati.