JAKARTA, KOMPAS.com - Komnas HAM menganggap bahwa pemulihan 13 santriwati korban perkosaan Herry Wirawan, bekasi pengasuh pondok pesantren di Bandung, tak kalah penting dibandingkan vonis bagi Herry sebagai terdakwa.
Belakangan, vonis terhadap Herry jadi perbincangan karena majelis hakim Pengadilan Tinggi Bandung mengabulkan banding jaksa penuntut umum untuk menjatuhkan pidana mati.
"Bagi Komnas HAM, korban adalah pihak paling utama untuk diperhatikan. Maka kami juga sangat kuat mendorong ada proses restitusi, rehabilitasi, dan perhatian yang lebih serius, dalam kasus Herry Wirawan maupun kasus-kasus lainnya," ujar Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik dalam keterangan video, Selasa (5/4/2022).
Baca juga: Tak Sepakat atas Vonis Herry Wirawan, Komnas HAM: Hukuman Mati Tidak Timbulkan Efek Jera
Taufan melanjutkan, apa yang dialami anak-anak tersebut merupakan sebuah penderitaan fisik sekaligus psikologis.
"Dan tidak kalah pentingnya adalah masa depan mereka terganggu. Itu bisa dipulihkan secara bertahap dengan bantuan dan dukungan dari pemerintah dan institusi-institusi sosial yang ada," ucap dia.
"Kita harus bekerja sama mengatasi itu dan fokus kepada pertolongan terhadap korban ini," kata dia lagi.
Baca juga: Petaruhan RUU TPKS di Senayan, Pertaruhkan Nasib Korban Pemerkosaan?
Ia beranggapan bahwa vonis mati terhadap terpidana, dalam kasus ini Herry Wirawan, tak berkorelasi dengan efek jera.
Pidana mati juga tidak berkorelasi langsung terhadap upaya pemulihan para korban.
Tidak efektifnya vonis mati menjadi salah satu sebab hukuman ini mulai ditinggalkan secara global.
Baca juga: Berlaku Besok, Ini Daftar 43 Negara yang Bebas Visa Kunjungan Khusus Wisata
Taufan menyinggung pula soal perlunya negara memperbaiki sistem, terutama sistem pendidikan keagamaan, di mana orang-orang yang justru dipercaya mengasuh murid justru menjadi pelaku yang memanfaatkan kedekatan itu untuk mengeksploitasi korban.
"Itu juga perlu dibenahi dalam sistem yang kita punyai selama ini, terutama dalam sistem pendidikan keagamaan yang menggunakan jargon-jargon keagamaan tapi sebetulnya ada praktik-praktik kejahatan terselubung," ujar dia.
Menurutnya, terbitnya Peraturan Mendikbud Ristek (Permendikbud) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi jadi langkah yang bisa diapresiasi.
"Karena itu satu langkah sistematik untuk mencegah tidak saja kekerasan tapi praktik-praktik perundungan seksual yang dialami banyak pihak di perguruan tinggi," kata Taufan.
Seperti diberitakan sebelumnya, kasus ini terbongkar setelah salah satu korbannya pulang ke rumah pada saat Hari Raya Idul Fitri pada 2021. Ketika itu, orang tua korban menyadari ada yang berbeda pada anaknya. Akhirnya diketahui bahwa sang anak tengah berbadan dua.
Mengetahui itu, orang tua korban kemudian melaporkan kejadian itu ke Polda Jabar serta Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Garut.
Setelah menerima laporan itu, polisi kemudian melakukan penyelidikan dan penyidikan hingga terungkap bahwa korban diperkosa oleh Herry Wirawan.
Ternyata, korban pemerkosaan Herry berjumlah 13 orang. Dari jumlah tersebut, 9 bayi lahir, dari 8 korban.
Pemerkosaan berlangsung selama bertahun-tahun dengan lokasi di dalam yayasan pesantren, basecamp, apatemen, dan hotel.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.