JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Yayasan Lentera Anak Lisda Sundari yakin rencana pemerintah melarang penjualan rokok batangan/ketengan mampu menurunkan prevalensi perokok anak dan remaja usia 10-18 tahun.
Rencana ini tertuang lampiran Keputusan presiden Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2022 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2023 yang diteken Presiden Joko Widodo pada Jumat (23/12/2022).
Dalam Keppres tersebut, salah satu program yang tertuang adalah merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Meski demikian, proses revisi akan memakan waktu yang sangat panjang.
Baca juga: Kemenkes Ungkap 78 Persen Penjual Rokok Batangan Dekat Sekolah, Revisi PP Tembakau Dinilai Penting
"Apakah itu dari pengalaman negara lain, dari berbagai studi yang telah kami lihat itu berhasil (menurunkan prevalensi perokok anak). Memang untuk menurunkannya enggak dalam waktu 1-2 tahun," kata Lisda kepada Kompas.com, Rabu (28/12/2022).
Adapun revisi PP akan meliputi pelarangan penjualan rokok batangan; pelarangan iklan, promosi, sponsorship produk tembakau di media teknologi informasi; dan penegakan penindakan.
Kemudian, pengawasan iklan, promosi, sponsorship produk tembakau di media penyiaran, media dalam dan luar ruang, dan media teknologi informasi; ketentuan mengenai rokok elektrik; dan penambahan luas prosentase gambar dan tulisan peringatan kesehatan pada kemasan produk tembakau.
Lisda menyebut, strategi-strategi itu sudah berhasil dilakukan di negara tetangga, seperti Thailand, Vietnam, maupun negara-negara yang tergabung dalam ASEAN lainnya.
Baca juga: Wapres Sebut Rokok Batangan Banyak Dibeli Anak-anak
Strategi tersebut juga merupakan rekomendasi dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk menekan prevalensi perokok anak dan remaja, dibarengi dengan kenaikan cukai yang diputuskan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
"Ada pelarangan iklan rokok, pembesaran peringatan tulisan bergambar, kenaikan cukai, dan kawasan tanpa rokok. Itu adalah pengalaman-pengalaman beberapa negara seperti Thailand, Vietnam juga melakukan itu," beber Lisda.
Lisda memandang revisi PP 109/2012 sangat perlu menyusul belum ada aturan yang melarang penjualan rokok batangan. Dengan kenaikan cukai pun, rokok selalu mudah diakses anak-anak dan remaja karena bisa dibeli secara ketengan.
Revisi juga dianggap perlu karena Keppres yang dikeluarkan presiden sebelumnya tak kunjung merevisi PP 109/2012 sampai habis masa. Padahal, revisi PP ini sudah pernah dibahas sebanyak 8 kali antar kementerian pada tahun 2018-2019.
Di tahun yang sama, prevalensi perokok anak naik menjadi 9,1 persen. Dengan demikian, target menurunkan prevalensi perokok anak menjadi 5,4 persen dalam RPJMN 2015-2019 menjadi gagal.
Oleh karena itu, perlu ada keinginan kuat pemerintah agar PP 109/2012 cepat direvisi.
Baca juga: Jokowi: Larangan Jual Rokok Batangan untuk Jaga Kesehatan Masyarakat
"Yang menjadi sangat penting adalah ada keinginan pemerintah untuk melindungi anak-anak, untuk menurunkan prevalensi perokok anak. Karena kalau niatnya cuma sebelah, hanya Kemenkes saja yang berniat tapi kementerian lain tidak mendukung, ya tidak akan pernah terjadi," ungkap Lisda.
Di sisi lain Lisda tidak memungkiri, akan ada tarik ulur ada kementerian/lembaga dalam proses revisi PP.