JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) Binsar Gultom mengatakan, evaluasi terhadap pimpinan peradilan oleh presiden merupakan bentuk intervensi terhadap Mahkamah Agung (MA) selaku lembaga yudikatif.
Menurutnya, presiden selaku lembaga eksekutif tidak boleh campur tangan pada lembaga yudikatif, sebagaimana konsep Trias Politica tentang pemisahan kekuasaan pemerintahan.
"Ajaran Trias Politica menurut asas ketatanegaraan terbagi tiga kekuasaan negara, yakni kekuasaan eksekutif (pemerintah), legislatif (DPR), dan Yudikatif (Mahkamah Agung) yang tidak boleh saling mencampuri kekuasaan masing-masing," ujar Binsar kepada Kompas.com saat dimintai tanggapannya, Selasa (15/11/2022).
"Ketiga kekuasaan negara ini, tidak boleh saling mengintervensi satu sama lain," tegasnya melanjutkan.
Baca juga: Hakim Agung Tersangka Bertambah, Pimpinan Komisi III: MA Bukan Lagi Lembaga Terhormat
Hal itu dikatakannya menanggapi pernyataan mantan Hakim Agung Gayus Lumbuun yang meminta Presiden Joko Widodo melakukan evaluasi terhadap pimpinan Hakim pada seluruh lembaga peradilan di Indonesia, termasuk 10 pimpinan di MA.
Gayus sendiri meminta evaluasi karena ada dua Hakim Agung dan sejumlah pegawai MA menjadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Binsar yang saat ini menjabat sebagai Hakim Pengadilan Tinggi (PT) Banten ini menegaskan, ada payung hukum yang telah tertuang dalam Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 pada Pasal 24 Ayat (1) yang menegaskan sifat dan karakter kekuasaan kehakiman, yang dipegang oleh MA selaku lembaga yudikatif.
Pasal itu berbunyi “Kekuasaan Kehakiman Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.
Hal itu, juga diperkuat dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 13 yang secara tegas mengatakan bahwa organisasi, administrasi dan finansial Mahkamah Agung berada dibawah kekuasaan Mahkamah Agung, bukan berada dibawah kekuasaan Pemerintah.
Oleh karena itu, menurut Binsar yang saat ini masih aktif mengajar di pascasarjana Universitas Sumatera Utara (USU) Medan mengatakan, kekuasaan kehakiman terbebas dari campur tangan kekuasaan eksekutif dan legislatif.
Baca juga: KPK Buka Peluang Periksa Hakim Agung Lain Terkait Kasus Suap di MA
Apalagi, lanjut hakim yang menangani kasus kopi maut bersianida ini, kekuasaan kehakiman telah disatuatapkan oleh Menteri Kehakiman saat itu, Yusril Ihza Mahendra kepada Ketua MA Bagir Manan pada tahun 2004, sebagai tindak lanjut dari UU Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
"Dengan penyatuatapan tersebut, maka urusan organisasi, administrasi dan finansial yang sebelumnya dipegang oleh pemerintah berdasarkan Undang-Undang nomor 19 tahun 1964 tentang kekuasaan kehakiman, sekarang sudah beralih ditangan Mahkamah Agung, yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, tetapi sudah harga mati," tegas hakim kasus Pelanggaran HAM berat Timor Leste itu.
"Jadi, kalau Profesor Gayus Lumbuun menginginkan supaya dievaluasi oleh presiden untuk membenahi sistem peradilan, di tingkat pertama dan tingkat banding bahkan ke Mahkamah Agung itu adalah telah mengintervensi lembaga Yudikatif, itu salah, tidak boleh," kata Binsar.
Kendati demikian, Binsar mendukung penegakan hukum menindak oknum aparat peradilan yang diduga terlibat tindak pidana korupsi.
Baca juga: Buntut 2 Hakim Agung Jadi Tersangka Korupsi, Komisi Yudisial Bentuk Satgas Khusus
Menurutnya, KPK bisa melanjutkan proses penyidikan dugaan korupsi yang melibatkan oknum aparat peradilan tanpa ada intervensi dari pihak manapun.
"Terkait dengan adanya permasalahan internal di Mahkamah Agung, mengenai dijadikannya tersangka Hakim Agung dan pegawainya itu tidak menjadikan lembaga kekuasaan kehakiman itu bisa diobok-obok oleh pihak eksternal lain, saya yakin dengan peristiwa yang menghampiri lembaga Mahkamah Agung saat ini, pimpinan Mahkamah Agung, pimpinan Pengadilan Tinggi dan pimpinan Pengadilan Tingkat Pertama, pasti bisa membenahi diri dengan pembinaan dari internal tanpa harus dicampuri oleh pihak eksternal," jelas Binsar.
"Kalau memang ada indikasi pengembangan penyidikan terkait dengan kasus yang terjadi silakan diproses hukum, silakan dilakukan," tuturnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.