JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruhnya permohonan uji materi ketentuan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold atau PT) dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017.
Permohonan uji materi itu sebelumnya diajukan oleh Presiden PKS Ahmad Syaikhu dan jajaran pengurus PKS Aboe Bakar dan Salim Segaf Aljufri.
Dalam putusannya, terdapat dua hakim yang memiliki alasan berbeda (concurring opinion).
Baca juga: MK Tolak Seluruhnya Uji Materi Presidential Threshold yang Diajukan PKS
Hal ini diungkapkan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman saat membaca putusan sidang di Gedung MK, Jakarta, Kamis (29/9/2022).
"Terdapat alasan berbeda dari dua orang hakim konstitusi, yaitu hakim konstitusi Suhartoyo dan Hakim konstitusi Saldi Isra," kata Anwar Usman saat membacakan putusan uji materiil terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017.
Hakim Konstitusi Suharyono berpendapat bahwa ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold atau PT) tidak memerlukan persentase.
Pendiriannya tidak berubah sebagaimana putusan-putusan mengenai PT sebelumnya.
Sementara itu, dalam salinan putusan MK, Saldi Isra berpendapat bahwa ambang batas pencalonan calon presiden dan wakil presiden bukanlah open legal policy pembentuk undang-undang.
Baca juga: Tolak Permohonan PKS untuk Turunkan Presidential Threshold, Ini Alasan MK
Sebab, secara konstitusional, syarat pengajuan calon presiden dan wakil presiden telah ditentukan secara eksplisit dalam UUD 1945.
Ihwal ini, Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”.
"Dengan konstruksi atau perumusan norma konstitusi demikian, pembentuk undang-undang tidak dapat keluar dari apa yang telah dimuat dalam norma konstitusi dengan cara menambah syarat baru yang sama sekali tidak dikehendaki UUD 1945," jelas Saldi.
Hakim Enny Nurbaningsih menjelaskan penentuan presidential threshold adalah kebijakan politik yang terbuka.
Mahkamah tidak memiliki wewenang untuk menilai maupun mengubah besaran ambang batas. Namun dalam permohonan, pemohon meminta Mahkamah untuk mengubah ketentuan ambang batas tersebut.
Oleh karena itu, pihaknya menilai dalil permohonan yang diajukan oleh para pemohon tidak beralasan menurut hukum sehingga MK menolaknya.
"Ketentuan presidential threshold perlu diberikan batasan yang lebih proporsional, rasional dan implementatif. Menurut Mahkamah, hal tersebut bukan lah menjadi ranah kewenangan Mahkamah untuk menilai kemudian mengubah besaran angka ambang batas," ucap Enny Nurbaningsih.
Baca juga: Kesalnya PKS soal Gugatan Presidential Threshold UU Pemilu yang Segera Diputus MK
Enny menjelaskan, perubahan ambang batas menjadi kewenangan para pembentuk UU, yakni DPR dan presiden untuk menentukan lebih lanjut kebutuhan proses legislasi mengenai besaran angka ambang batas tersebut.
Sedangkan berdasarkan permohonan PKS, partai berlambang bulan sabit padi itu meminta MK mengubah presidential threshold menjadi 7 persen atau 9 persen.
Dalam rapat permusyawaratan hakim, MK memutuskan bahwa tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma terkait ambang batas yang berlaku saat ini.
"Tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma pasal 222 UU 7/2017 sehingga mahkamah berpendapat tidak terdapat alasan mendasar yang menyebabkan Mahkamah harus mengubah pendiriannya," jelas Enny.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.