KAMIS (8/9/ 2022), Presiden Joko Widodo (Jokowi) menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) No 109 Tahun 2022 Tentang Pengesahkan Ratifikasi Perjanjian Penyesuaian Batas Flight Information Region (FIR) dengan Singapura.
Perpres itu diterbitkan mendahului dua undang-undang (UU) yang mengesahkan ratifikasi Perjanjian Ekstradisi dan Perjanjian Kerjasama Pertahanan (Defense Cooperation Agreement) dengan Singapura.
Pengesahan ratifikasi tiga perjanjian itu belumlah merupakan tahap akhir dari pemberlakuan ketiga perjanjian yang ditandatangani Indonesia dan Singapura pada 25 Januari lalu. Pengesahan Perjanjian Penyesuaian Garis Batas FIR melalui peraturan presiden tentu bukan lagi menjadi kejutan bagi masyarakat Indonesia.
Baca juga: Luhut: Perjanjian FIR Berjangka Waktu 25 Tahun, Dievaluasi Tiap 5 Tahun
Walaupun menyangkut kedaulatan negara, perjanjian penyesuaian FIR sejatinya mengatur hal-hal teknis tentang pelayanan jasa navigasi udara. Sehingga, Pemerintah Indonesia merasa perlu mengesahkan ratifikasi menggunakan perpres. Langkah ini patut diapresiasi untuk menjamin kepastian status perjanjian FIR dalam proses ratifikasi.
Namun, masih terdapat beberapa isu yang berkaitan dengan perjanjian FIR yang masih harus terus dikawal.
Dalam konferensi pers penandatanganan perpres yang dilakukan Presiden Jokowi, Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, dan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, terdapat tiga masalah penting yang dapat memengaruhi kedaulatan dan kepentingan Indonesia selama pendelegasian pengelolaan FIR selama 25 tahun ke depan.
Masalah pertama yang berkaitan langsung dengan perjanjian FIR adalah soal civil-military cooperation (CMC) framework. Sejak perjanjian FIR ditandatangani, Pemerintah Indonesia telah berulang kali menggaungkan bahwa salah satu ketentuan yang diatur dalam perjanjian tersebut adalah mengenai kerja sama sipil dan militer dalam penyediaan jasa navigasi udara di FIR Singapura.
Kerja sama sipil dan militer itu penting dilakukan untuk menjamin pelanggaran wilayah udara di wilayah Indonesia yang dikelola oleh Singapura tidak lagi terjadi. Hal ini dapat dicapai melalui pemetaan tugas yang jelas dalam CMC Framework tentang prosedur pengajuan, pemberian, dan verifikasi diplomatic dan security clearances antara Indonesia dan Singapura.
Salah satu hal penting yang nantinya akan diatur dalam CMC Framework adalah mengenai penempatan personel militer Angkatan Udara (AU) Indonesia pada ATC Singapura di Changi, yang bertugas mengelola navigasi penerbangan di FIR Singapura.
Personel AU Indonesia itu selama masa pendelegasian harus dapat menjamin prioritas bagi penerbangan kenegaraan atau militer Indonesia yang menggunakan rute–rute di FIR Singapura di bawah ketinggian 37.000 kaki, khususnya untuk lalu lintas serta pendaratan dan lepas landas di pangkalan–pangkalan udara di wilayah Kepulauan Riau.
Selain itu, personel AU Indonesia yang akan ditempatkan di ATC Singapura, juga harus memiliki akses untuk memonitor dan memverifikasi semua clearances yang telah diajukan melalui sistem terpadu, untuk menjamin dan mengkomunikasikan kepada ATC Singapura bahwa pesawat udara asing yang memasuki wilayah Indonesia yang dikelola oleh Singapura telah memiliki izin yang sesuai.
Apabila tidak memiliki izin yang sesuai, personel AU tersebut harus menjamin bahwa penerbangan militer Indonesia untuk melakukan pencegatan atau pemaksaan mendarat, harus mendapatkan prioritas dari ATC Singapura.
Masalah kedua yang harus dihadapi adalah soal self-assessment jasa pelayanan navigasi udara Indonesia. Sebagaimana diatur dalam Pasal 28 Konvensi Penerbangan Sipil Internasional, setiap negara, apabila menilai dirinya mampu untuk menyediakan jasa navigasi udara, maka harus melakukannya sendiri.
Penilaian itu harus dilakukan sendiri oleh masing–masing negara dan kemudian dilaporkan ke Regional Air Navigation Meeting masing–masing wilayah, untuk menentukan kesiapan masing–masing negara dalam mengelola Flight Information Region (FIR).
Tentu masyarakat yakin, bahwa sejak sebelum penandatanganan dan pengesahan ratifikasi perjanjian FIR, Pemerintah Indonesia telah melakukan penilaian diri atas sumber daya teknologi dan sumber daya manusia yang dibutuhkan untuk mengambil alih pengelolaan.