JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Pusat Studi Air Power Indonesia (PSAPI) Chappy Hakim mengatakan perlu ada diskusi publik membahas perjanjian penyesuaian pelayanan ruang udara atau realignment Flight Information Region (FIR) antara Indonesia dan Singapura.
Menurutnya, diskusi publik antara berbagai pemangku kepentingan terkait perjanjian kerja sama dengan Singapura adalah hal yang konstruktif bagi Indonesia.
"Tidak saja hal ini sesuai dengan demokrasi, tetapi juga agar kepentingan nasional tetap terjaga," kata Chappy dalam diskusi daring "Kupas Tuntas FIR Singapura" yang diadakan PSAPI, Jakarta Defence Studies (JDS) dan Indonesia Center for Air and Space Law (ICASL) Universitas Padjajaran, Kamis (3/2/2022).
Baca juga: Perundingan soal FIR RI-Singapura Disebut Alot, Digelar Hingga 40 Kali
Chappy mengatakan, polemik yang muncul usai perjanjian Indonesia-Singapura 25 Januari lalu penyebabnya adalah belum ada penjelasan yang komprehensif dan transparansi dari pemerintah.
Awalnya, penjelasan Presiden Joko Widodo bahwa FIR Jakarta sudah mencakup seluruh kedaulatan RI.
Penjelasan ini kemudian berkembang pada isu didelegasikan kembali 37.000 feet.
"Ini masih berproses, tapi kita perlu berpadu meredam polemik liar dengan cara elegan, kita selesaikan dengan otak, bukan dengan otot," kata Chappy.
Sementara itu, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengatakan, adanya masukan dari publik bisa menjadi alat diplomasi Indonesia menghadapi Singapura.
Baca juga: Batas FIR Indonesia- Singapura Disesuaikan, Ini Komentar INACA
Akan tetapi, proses yang terburu-buru terutama dari pihak Indonesia bisa berakibat buruk secara jangka panjang.
Ia menegaskan, pengelolaan FIR ini memang terkait kepercayaan.
Ia menggarisbawahi biasanya perjanjian FIR ditinjau tiap 5 tahun, akan tetapi sekarang justru menjadi 25 tahun.
"Ada Permenhub Nomor 55 Tahun 2016, ini ada program kerja pengambilalihan navigasi penerbangan sejak 2016, ini 2019 impelementasi penuh. Apakah dokumen ini digunakan tim negoisator oleh tim dengan Singapura," kata Hikmahanto.
Baca juga: Perjanjian Indonesia-Singapura soal FIR dan DCA yang Menuai Kritik
Sebagai informasi, pelayanan navigasi penerbangan di Kepulauan Riau termasuk Natuna selama ini bukan menjadi tanggung jawab Indonesia, melainkan menjadi tanggung jawab Otoritas Navigasi Penerbangan Singapura sejak 1946.
Dengan adanya kendali navigasi itu membuat pesawat Indonesia yang terbang di wilayah Kepulauan Riau harus lebih dulu meminta izin kepada otoritas Singapura, sekalipun terbang di wilayah negara sendiri.
Namun, Indonesia kini mengklaim telah berhasil mengambil alih FIR.
Penandatanganan dilakukan Menteri Perhubungan Republik Indonesia dan Menteri Transportasi Singapura di hadapan Presiden RI Joko Widodo dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong di Bintan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.