JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menjelaskan alasan pemerintah membuka jalur non-yudisial dalam penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu.
Mahfud menyebut jalur non-yudisial ditempuh lantaran penyelesaian kasus melalui jalur yudisial acap kali menemukan kendala.
Kendala tersebut, misalnya, Kejaksaan Agung selalu meminta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memperbaiki berkas temuan. Sebaliknya, Komnas HAM juga selalu merasa berkas temuannya sudah cukup.
Baca juga: Penuntasan Kasus HAM Masa Lalu, Mahfud: Bukan Presiden yang Ambil Keputusan, tetapi DPR
“Padahal Kejaksaan Agung itu kalah kalau tidak diperbaiki seperti yang sudah-sudah, 34 orang bebas (kasus Timor Timur),” kata Mahfud, dikutip dari Youtube Kemenko Polhukam, Jumat (19/8/2022).
Mahfud mencontohkan kekalahan Kejaksaan Agung ketika Mahkamah Agung memutus bebas terhadap 34 orang yang diduga terlibat kasus pelanggaran HAM di Timor Timur.
Mahkamah Agung memutus bebas tak lepas karena Komnas HAM tidak bisa melengkapi bukti-bukti yang dapat meyakinkan hakim.
“Oleh sebab itu sudahlah yang itu, biar bolak-balik Kejaksaan Agung, Komnas HAM, dan DPR sampai menemukan formulasi, kita buka jalur yang non-yudisial ini sebagai pengganti (alternatif) KKR (Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi),” terang Mahfud.
Baca juga: Jaksa Agung Minta Jampidsus Percepat Selesaikan Kebuntuan Penanganan Kasus HAM Masa Lalu
Di sisi lain, Mahfud menegaskan bahwa pemerintah harus segera berbuat untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu.
Ia juga tak mempersoalkan terkait kritik masyarakat terhadap langkah yang ditempuh pemerintah.
“Soal ada kritik ya biasalah, saya senang ada kritik. Kalau saya enggak apa-apa, dan akan didengarkan serta dilaksanakan,” ucap Mahfud.
“Dan Anda boleh ceklah transparan. Masalah pelanggaran HAM berat kita selesaikan baik-baik,” imbuh dia.
Presiden Joko Widodo telah menandatangani Keputusan Presiden (Keppres) tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu.
Namun, keputusan tersebut menuai kritik dari masyarakat karena dinilai memperkuat impunitas atau kekebalan hukum bagi para pelaku pelanggaran HAM di Indonesia.
“Perihal Keppres Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu juga melahirkan sejumlah polemik yang berpotensi membuat impunitas semakin menguat di Indonesia," kata Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Julius Ibrani dalam keterangan tertulis, Kamis (18/8/2022).
Baca juga: Temui Moeldoko, Mahasiswa Trisakti Bahas Sejumlah Kasus HAM Masa Lalu
Menurut dia, ketertutupan informasi terkait pembentukan tim penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu sebagai upaya memisahkan penyelesaian berbasis metode yudisial atau peradilan.
Julius juga menyebut, keputusan Jokowi sebagai bentuk kamuflase atas lemahnya negara menindak para pelaku kejahatan kemanusiaan di Indonesia.
"Kami belum melihat rujukan regulasi atau standar norma pengaturan yang Presiden dan jajarannya pilih dalam menyusun regulasi (Keppres) ini," tutur dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.