Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dr M Subhan SD
Direktur PolEtik Strategic

Direktur PolEtik Strategic | Founder Mataangindonesia Social Initiative | msubhansd.com | mataanginsaguling.com

Koalisi, Kala Singa Tak Berdaya Menghadapi Sekawanan Hiena

Kompas.com - 26/05/2022, 06:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PADANG sabana di benua Afrika adalah arena perburuan liar sesama satwa. Padang rumput luas itu adalah habitat mengerikan: terbuka, ganas, buas, bengis, tak ada ampun.

Yang ada cuma kill or to be killed. Hidup di padang sabana itu harus punya nyali, modal, dan beking kuat.

Harus kuat seperti singa, harus cepat seperti citah, harus licik seperti hiena. Satwa yang lemah, lambat, dan kecil akan menjadi mangsa yang empuk.

Singa adalah raja hutan, lambang sang penguasa. Semua hewan tunduk pada singa seperti gambaran film The Lion King.

Citah adalah satwa darat tercepat, bisa mencapai 120 km per jam. Itulah yang membuat citah mampu bertahan.

Adapun hiena atau dubuk adalah hewan cerdik nan licik. Selain berburu mangsa, hiena juga merebut hasil buruan satwa lain.

Seperti singa, hiena adalah hewan berkelompok tapi lebih solid dan banyak jumlahnya. Naluri hiena dapat menghitung kekuatan lawan, dan secepatnya bisa memanggil kawanannya untuk mengalahkan hewan lain.

Cara hidup bersekutu membuat hiena menjadi pemangsa ditakuti.

Ilustrasi metafor ini dikemukakan untuk memotret koalisi politik yang sudah ramai diperbincangkan, setelah munculnya Koalisi Indonesia Bersatu (KIB).

Seperti padang sabana, arena politik juga adu kuat, adu cepat, adu siasat. Siapa cepat dia hebat, siapa cepat dia dapat, siapa bersiasat dia melesat.

Kuat-cepat-siasat haruslah satu paket. Koalisi berarti menambah energi, memperbanyak kawan, melipatgandakan kekuatan. Daya dorong koalisi bak buldozer yang melibas apa yang menghadang.

Potensi keuntungan berkoalisi bagi anggotanya, menurut J Brian O’Day dari National Democratic Institute, antara lain partai mendapat sesuatu yang baru, memperluas basis dukungan, mengandalkan kekuatan bersama, memperluas pengetahuan dan kemampuan, mengatasi celah kekurangan.

Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto (tengah) berjabat tangan dengan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan (kanan) dan Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa (kiri) usai menggelar pertemuan di Jakarta, Kamis (12/5/2022). Pertemuan tersebut dalam rangka silaturahmi lebaran dan pembahasan koalisi Bersatu (Beringin, Ka'bah, dan Matahari). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/YUANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto (tengah) berjabat tangan dengan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan (kanan) dan Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa (kiri) usai menggelar pertemuan di Jakarta, Kamis (12/5/2022). Pertemuan tersebut dalam rangka silaturahmi lebaran dan pembahasan koalisi Bersatu (Beringin, Ka'bah, dan Matahari). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/YU
Bergerak cepat, mengatur siasat, agar menjadi kuat. Begitulah kita membaca pertemuan Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, dan Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa sepakat pada 12 Mei 2022. Kesepakatan pun dicapai dengan terbentuknya KIB.

Ada dua pendapat mengenai KIB. Pertama, dinilai sebagai langkah maju. Koalisi dipandang akan lebih permanen untuk jangka waktu cukup panjang, bukan hasil yang instan.

Dengan begitu, publik punya waktu yang cukup untuk melihat dan mempertimbangkan pilihannya.

Ini pendapat positif. Ini memang koalisi agak berbeda. Secara empiris, selama ini koalisi dibangun dalam waktu yang mepet atau injury time. Biasanya sesaat menjelang perhelatan Pilpres.

Kedua, sebaliknya KIB dianggap prematur. Artinya belum waktunya, belum cukup matang. Nadanya negatif.

Hanya PDIP bisa ajukan Capres-Cawapres

Pilpres memang masih di tahun 2024, tapi koalisi adalah cara cepat menggandeng sekutu, sekaligus untuk “cek ombak”.

Dengan begitu, ada waktu yang cukup menyusun strategi pemenangan kandidat di panggung pilpres.

Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, pada Pasal 222 tercantum jelas, “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya”.

Saat ini di parlemen ada sembilan partai, setelah lolos ambang batas parliament threshold 4 persen pada Pemilu 2019.

Suara terbesar diraih PDIP yang meraih 19,33 persen, diikuti Gerindra 12,57 persen, Golkar 12,31 persen, PKB 9,69 persen, Nasdem 9,05 persen, PKS 8,21 persen, Demokrat 7,77 persen, PAN 6,84 persen, dan PPP 4,52 persen.

Mencermati persentase perolehan suara secara nasional, tiada partai yang mandiri yang dapat mengajukan capres-cawapres.

Namun berdasarkan klausul jumlah kursi di DPR, PDIP menjadi satu-satunya partai yang dapat mengajukan capres-cawapres.

Kursi PDIP di DPR ada 128 kursi atau 22,26 persen. Jumlah itu melampaui syarat 20 persen jumlah kursi atau 115 kursi dari total 575 kursi di DPR.

Gerindra di peringkat kedua cuma punya 75 kursi. Dengan demikian, Gerindra dan tujuh partai lainnya tidak dapat mengajukan capres-cawapres secara mandiri. Tidak ada pilihan lain bagi delapan partai di DPR itu selain berkoalisi.

Pengalaman buruk

Walaupun sudah punya tiket Pilpres 2024, tampaknya PDIP pun tidak cukup bernyali untuk maju sendirian.

PDIP punya pengalaman buruk dalam berkoalisi. Sebagai pemenang Pemilu 2014 dengan suara 18,95 persen, PDIP gagal meraih pucuk pimpinan di DPR.

Dalam tradisi sebelumnya bahwa pemenang Pemilu otomatis akan menempati posisi pimpinan DPR. Hal itu diatur dalam UU Nomor 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).

Pasal 82 menyebutkan: “Pimpinan DPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua yang berasal dari partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPR” (ayat 1) dan “Ketua DPR ialah anggota DPR yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama di DPR” (ayat 2).

Aturan ini sudah sangat jelas dan penerapannya sudah dilakukan. Namun, politik adalah permainan serba mungkin. Sesuatu yang impossible bisa menjadi possible.

Kala itu itu ada dua kubu koalisi, yakni Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP).

Rivalitas antara KIH yang mendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla dan KMP yang mendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa memang sangat keras.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

[POPULER NASIONAL] PDI-P Harap Putusan PTUN Buat Prabowo-Gibran Tak Bisa Dilantik | Menteri 'Triumvirat' Prabowo Diprediksi Bukan dari Parpol

[POPULER NASIONAL] PDI-P Harap Putusan PTUN Buat Prabowo-Gibran Tak Bisa Dilantik | Menteri "Triumvirat" Prabowo Diprediksi Bukan dari Parpol

Nasional
Tanggal 5 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 5 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Sempat Berkelakar Hanif Dhakiri Jadi Menteri, Muhaimin Bilang Belum Ada Pembicaraan dengan Prabowo

Sempat Berkelakar Hanif Dhakiri Jadi Menteri, Muhaimin Bilang Belum Ada Pembicaraan dengan Prabowo

Nasional
PKS Janji Fokus Jika Gabung ke Prabowo atau Jadi Oposisi

PKS Janji Fokus Jika Gabung ke Prabowo atau Jadi Oposisi

Nasional
Gerindra Ungkap Ajakan Prabowo Buat Membangun Bangsa, Bukan Ramai-ramai Masuk Pemerintahan

Gerindra Ungkap Ajakan Prabowo Buat Membangun Bangsa, Bukan Ramai-ramai Masuk Pemerintahan

Nasional
PKB Terima Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Kalimantan, Salah Satunya Isran Noor

PKB Terima Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Kalimantan, Salah Satunya Isran Noor

Nasional
ICW Sebut Alasan Nurul Ghufron Absen di Sidang Etik Dewas KPK Tak Bisa Diterima

ICW Sebut Alasan Nurul Ghufron Absen di Sidang Etik Dewas KPK Tak Bisa Diterima

Nasional
Nasdem Kaji Duet Anies-Sahroni di Pilkada Jakarta

Nasdem Kaji Duet Anies-Sahroni di Pilkada Jakarta

Nasional
PDI-P Tuding KPU Gelembungkan Perolehan Suara PAN di Dapil Kalsel II

PDI-P Tuding KPU Gelembungkan Perolehan Suara PAN di Dapil Kalsel II

Nasional
Demokrat Tak Ingin Ada 'Musuh dalam Selimut' di Periode Prabowo-Gibran

Demokrat Tak Ingin Ada "Musuh dalam Selimut" di Periode Prabowo-Gibran

Nasional
Maju di Pilkada Jakarta atau Jabar, Ridwan Kamil: 1-2 Bulan Lagi Kepastiannya

Maju di Pilkada Jakarta atau Jabar, Ridwan Kamil: 1-2 Bulan Lagi Kepastiannya

Nasional
Demokrat Harap Tak Semua Parpol Merapat ke Prabowo Supaya Ada Oposisi

Demokrat Harap Tak Semua Parpol Merapat ke Prabowo Supaya Ada Oposisi

Nasional
Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Belum Tahu Mau Jawab Apa

Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Belum Tahu Mau Jawab Apa

Nasional
Gugat Dewas ke PTUN hingga 'Judicial Review' ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Gugat Dewas ke PTUN hingga "Judicial Review" ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Nasional
Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com