Salin Artikel

Koalisi, Kala Singa Tak Berdaya Menghadapi Sekawanan Hiena

Yang ada cuma kill or to be killed. Hidup di padang sabana itu harus punya nyali, modal, dan beking kuat.

Harus kuat seperti singa, harus cepat seperti citah, harus licik seperti hiena. Satwa yang lemah, lambat, dan kecil akan menjadi mangsa yang empuk.

Singa adalah raja hutan, lambang sang penguasa. Semua hewan tunduk pada singa seperti gambaran film The Lion King.

Citah adalah satwa darat tercepat, bisa mencapai 120 km per jam. Itulah yang membuat citah mampu bertahan.

Adapun hiena atau dubuk adalah hewan cerdik nan licik. Selain berburu mangsa, hiena juga merebut hasil buruan satwa lain.

Seperti singa, hiena adalah hewan berkelompok tapi lebih solid dan banyak jumlahnya. Naluri hiena dapat menghitung kekuatan lawan, dan secepatnya bisa memanggil kawanannya untuk mengalahkan hewan lain.

Cara hidup bersekutu membuat hiena menjadi pemangsa ditakuti.

Ilustrasi metafor ini dikemukakan untuk memotret koalisi politik yang sudah ramai diperbincangkan, setelah munculnya Koalisi Indonesia Bersatu (KIB).

Seperti padang sabana, arena politik juga adu kuat, adu cepat, adu siasat. Siapa cepat dia hebat, siapa cepat dia dapat, siapa bersiasat dia melesat.

Kuat-cepat-siasat haruslah satu paket. Koalisi berarti menambah energi, memperbanyak kawan, melipatgandakan kekuatan. Daya dorong koalisi bak buldozer yang melibas apa yang menghadang.

Potensi keuntungan berkoalisi bagi anggotanya, menurut J Brian O’Day dari National Democratic Institute, antara lain partai mendapat sesuatu yang baru, memperluas basis dukungan, mengandalkan kekuatan bersama, memperluas pengetahuan dan kemampuan, mengatasi celah kekurangan.

Ada dua pendapat mengenai KIB. Pertama, dinilai sebagai langkah maju. Koalisi dipandang akan lebih permanen untuk jangka waktu cukup panjang, bukan hasil yang instan.

Dengan begitu, publik punya waktu yang cukup untuk melihat dan mempertimbangkan pilihannya.

Ini pendapat positif. Ini memang koalisi agak berbeda. Secara empiris, selama ini koalisi dibangun dalam waktu yang mepet atau injury time. Biasanya sesaat menjelang perhelatan Pilpres.

Kedua, sebaliknya KIB dianggap prematur. Artinya belum waktunya, belum cukup matang. Nadanya negatif.

Hanya PDIP bisa ajukan Capres-Cawapres

Pilpres memang masih di tahun 2024, tapi koalisi adalah cara cepat menggandeng sekutu, sekaligus untuk “cek ombak”.

Dengan begitu, ada waktu yang cukup menyusun strategi pemenangan kandidat di panggung pilpres.

Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, pada Pasal 222 tercantum jelas, “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya”.

Saat ini di parlemen ada sembilan partai, setelah lolos ambang batas parliament threshold 4 persen pada Pemilu 2019.

Suara terbesar diraih PDIP yang meraih 19,33 persen, diikuti Gerindra 12,57 persen, Golkar 12,31 persen, PKB 9,69 persen, Nasdem 9,05 persen, PKS 8,21 persen, Demokrat 7,77 persen, PAN 6,84 persen, dan PPP 4,52 persen.

Mencermati persentase perolehan suara secara nasional, tiada partai yang mandiri yang dapat mengajukan capres-cawapres.

Namun berdasarkan klausul jumlah kursi di DPR, PDIP menjadi satu-satunya partai yang dapat mengajukan capres-cawapres.

Kursi PDIP di DPR ada 128 kursi atau 22,26 persen. Jumlah itu melampaui syarat 20 persen jumlah kursi atau 115 kursi dari total 575 kursi di DPR.

Gerindra di peringkat kedua cuma punya 75 kursi. Dengan demikian, Gerindra dan tujuh partai lainnya tidak dapat mengajukan capres-cawapres secara mandiri. Tidak ada pilihan lain bagi delapan partai di DPR itu selain berkoalisi.

Pengalaman buruk

Walaupun sudah punya tiket Pilpres 2024, tampaknya PDIP pun tidak cukup bernyali untuk maju sendirian.

PDIP punya pengalaman buruk dalam berkoalisi. Sebagai pemenang Pemilu 2014 dengan suara 18,95 persen, PDIP gagal meraih pucuk pimpinan di DPR.

Dalam tradisi sebelumnya bahwa pemenang Pemilu otomatis akan menempati posisi pimpinan DPR. Hal itu diatur dalam UU Nomor 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).

Pasal 82 menyebutkan: “Pimpinan DPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua yang berasal dari partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPR” (ayat 1) dan “Ketua DPR ialah anggota DPR yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama di DPR” (ayat 2).

Aturan ini sudah sangat jelas dan penerapannya sudah dilakukan. Namun, politik adalah permainan serba mungkin. Sesuatu yang impossible bisa menjadi possible.

Kala itu itu ada dua kubu koalisi, yakni Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP).

Rivalitas antara KIH yang mendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla dan KMP yang mendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa memang sangat keras.

Di kubu KIH ada PDIP (18,95 persen), PKB (9,04 persen), Nasdem (6,72 persen), dan Hanura (5,26 persen). Total kekuatan 39,97 persen.

Walaupun koalisi KIH berhasil memenangi perolehan suara capres-cawapres (Joko Widodo-Jusuf Kalla), tetapi di parlemen tak menjadi kekuatan mayoritas.

Di kubu seberang ada KMP. Terdiri Gerindra (11,81 persen), Golkar (14,75 persen), PKS (6,79 persen), PPP (6,53 persen), dan PAN (7,59 persen). Jumlah kekuatan 47,47 persen, lebih kuat dari KIH.

Ada satu partai yang walaupun bersikap nonkoalisi, yaitu Partai Demokrat (10,19 persen), tapi terkadang dianggap memiliki kedekatan atau condong ke kubu KMP.

Dengan peta kekuatan di DPR seperti itu, PDIP dan koalisinya pun menjadi bulan-bulanan. KMP bahkan berhasil merevisi UU MD3.

Penentuan pimpinan DPR bukan lagi berdasarkan partai pemenang pemilu, melainkan sistem paket.

Dalam UU MD3 hasil revisi, yaitu UU Nomor 17 Tahun 2014, pada Pasal 84 ayat (1) disebutkan “Pimpinan DPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPR”.

Pada ayat (2) tercantum: “Pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih dari dan oleh anggota DPR dalam satu paket yang bersifat tetap”. Pukulan sangat telak terhadap KIH.

Realitasnya KMP menyapu bersih kursi pimpinan. Mereka memenangi paket pimpinan DPR.

Ketua DPR diambil Golkar (Setya Novanto) dengan wakil-wakilnya dipegang Gerindra (Fadli Zon), Demokrat (Agus Hermanto), PKS (Fahri Hamzah), dan PAN (Taufik Kurniawan). Begitu pula pimpinan komisi dan alat kelengkapannya lainnya.

Walaupun sidang diwarnai aksi walk out PDIP, PKB, Hanura, dan Nasdem, tetapi tetap saja tak mengubah keadaan.

Tak ayal, perseteruan dua kubu koalisi itu membuat panas panggung politik, hingga terjadi peristiwa meja sidang di DPR dijungkirbalikkan.

KIH bahkan sempat membuat pimpinan DPR tandingan. PDIP dan koalisinya gigit jari. PDIP merasa dizalimi. Pemenang pemilu tidak mendapatkan apa-apa.

Perseteruan sengit di Senayan itu juga membuat Istana kesulitan ketika Jokowi hendak memulai menjalankan pemerintahan.

Kekalahan PDIP saat itu juga dianggap sebagai cara berpolitik PDIP yang kaku dan sekeras banteng.

Mungkin juga karena merasa posisi di atas angin. Di politik yang bertumpu pada saling memengaruhi, daya elastis amat diperlukan.

Adagium lumrah di politik adalah “tiada kawan dan lawan yang abadi, hanya kepentingan yang abadi”.

Terbukti, setelah menguasai kursi-kursi di DPR, beberapa partai anggota KMP juga merapat ke Istana dan berada sepanggung di KIH. Ada Golkar, PAN, dan PPP. Di DPR dapat kursi, juga dapat jatah di kabinet.

Politik itu memang bukan hitam-putih. Politik itu tidak kaku. Politik itu sangat cair. Dinamikanya sangat tinggi.

Jadi kuat saja seperti singa belumlah cukup. Butuh kecepatan seperti citah dan tentu saja bersiasat seperti hiena.

Pandai baca gestur

Maka, untuk bisa mencari pasangan koalisi tentunya masing-masing partai harus pandai-pandai membaca peta kekuatan, platform, atau gestur partai-partai lain. Banyak faktor yang memungkinkan terjadi perkawinan partai.

Biasanya berada dalam satu frekuensi, punya akar sejarah sama, political chemistry-nya bisa pas, mempunyai ideologi beririsan, atau ada kemiripan platform politik, atau lewat jaringan perkoncoan.

Ada juga partai yang jauh berseberangan tetapi mereka dapat saling merapat ketika kepentingan masing-masing dapat dipertemukan.

Sejauh ini sudah ada KIB, yang dibidani Golkar, PAN, PPP. Tiga partai ini yang masuk belakangan ke KIH pada periode 2014-2019.

Golkar adalah partai papan atas sepanjang Pemilu di era reformasi. Persentase perolehan suaranya selalu di atas dua digit.

Sekarang berada di urutan ketiga (walau jumlah kursi di urutan kedua), turun dari urutan kedua pada Pemilu 2009 dan 2014, yang juga turun dari posisi pertama pada Pemilu 2004. Melihat rekam jejaknya, Golkar adalah partai kuat.

Golkar adalah partai Orde Baru yang mampu beradaptasi dan bertransformasi ke era reformasi.

PPP dan PAN masing-masing berada di urutan kedelapan dan kesembilan di DPR. PAN punya suara 6,84 persen dan PPP punya 4,52 persen.

Dengan Golkar yang punya suara 12,31 persen (dengan jumlah kursi 85 buah), maka KIB punya jumlah suara 23,67 persen.

Adapun jumlah kursi sebanyak 148 buah atau 25,74 persen, terdiri 85 kursi Golkar, 44 kursi PAN, dan 19 kursi PPP.

Ini berarti melampaui ketentuan 20 persen dari jumlah kursi DPR. Dengan demikian, KIB sudah punya tiket untuk pencalonan capres dan cawapres.

Bagaimana partai-partai lain? Sejumlah pimpinan partai sudah berkomunikasi dan bersilaturahim.

Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto sudah bersilaturahim ke rumah Ketua Umum PDIP Megawati saat Idul Fitri awal Mei lalu.

Hubungan Megawati dan Prabowo boleh dikata unik. Kadang mesra, kadang tak akur.

Pada Pilpres 2009, Megawati dan Prabowo berpasangan sebagai capres-cawapres. Waktu itu populer sebutan pasangan Mega-Pro. Bahkan koalisi itu diperkuat dengan Perjanjian Batu Tulis.

Di pentas Pilpres, Mega-Pro kalah dari pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono. Tiga tahun kemudian, koalisi kembali terjadi pada Pilkada DKI Jakarta.

PDIP dan Gerindra berkoalisi mengajukan pasangan Jokowi dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang kemudian memenangi Pilgub Jakarta 2012.

Dua tahun setelah itu, hubungan merenggang lagi, setelah PDIP mengusung Jokowi sebagai kandidat presiden di Pilpres 2014. Padahal Prabowo juga maju dalam bursa capres.

Ini yang sempat diungkit-ungkit karena salah satu poin Perjanjian Batu Tulis, disebutkan Megawati akan mendukung pencalonan Prabowo pada 2014.

Tetapi Megawati mustahil tak mengusung Jokowi, kader PDIP yang punya elektabilitas tertinggi.

Dukungan PDIP terhadap Jokowi berlanjut pada Pilpres 2019. Alhasil selama satu dekade hubungan keduanya berseberangan.

Bahkan inilah episode terberat dalam politik Indonesia kontemporer karena rivalitas menimbulkan polarisasi yang begitu akut. Demokrasi pun sampai terseok-seok.

Tiga poros koalisi

Silaturahim, komunikasi, dan mungkin penjajakan dilakukan para pimpinan parpol. Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) telah bertemu Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh (SP) pada 29 Maret 2022.

AHY juga bertemu Airlangga Hartarto pada 7 Mei 2022. Sebelumnya Surya Paloh bertemu Airlangga Hartarto pada 10 Maret 2022, saat panas-panasnya wacana penundaan Pemilu 2024.

Terlepas dari isu yang dibahas dalam pertemuan tersebut, tetapi dipercaya SP mengantungi sejumlah nama untuk bursa capres-cawapres dalam Pilpres 2024.

Bila mencermati peta kekuatan di parlemen, idealnya dapat terbentuk tiga poros koalisi. Yang sudah ada KIB.

Jika ada tiga koalisi, maka akan ada tiga pasangan capres-cawapres pada Pilpres 2024.

Kalau gelagat kedekatan PDIP dan Gerindra benar-benar terwujud, maka akan menjadi satu poros koalisi. Suara PDIP 19,33 persen dan Gerindra 12,57 persen. Total 31,90 persen.

Tinggal satu poros koalisi lagi. Di sana ada PKB (9,69 persen), Nasdem (9,05 persen), PKS (8,21 persen), dan Demokrat (7,77 persen). Jumlah kekuatannya 34,72 persen.

Justru di tangan koalisi ini terbentuk koalisi terkuat berdasarkan kekuatan suara.

Apakah benar-benar mengerucut pada pemetaan ketiga koalisi tersebut, sekali lagi, politik itu sangat cair. Bisa ya, bisa juga tidak.

Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar yang ditanya kemungkinan bergabung dengan KIB, berseloroh mau saja apabila capresnya adalah dirinya. Muhaimin tentu bercanda.

Tetapi di politik diksi bisa bermakna lain alias multitafsir. Kita sama-sama cermati bahwa KIB diinisiasi oleh Golkar.

Sebagai partai kuat, Golkar tak ingin kalah cepat. Apalagi Airlangga didapuk sebagai capres dalam Munas tahun 2019. Maka KIB akan dapat mengamankan posisi Golkar, sekaligus posisi Airlangga.

Koalisi ramping saja, tak perlu besar. Asal cukup untuk meraih kemenangan. Jangan membawa beban banyak.

Kenyataannya koalisi justru membengkak, seperti koalisi pemerintahan Jokowi, baik Koalisi Indonesia Hebat (2014-2019), dan terlebih Koalisi Indonesia Maju (2019-2024).

Ini tak mengherankan karena tujuan partai adalah mengakses kekuasaan, karena motif office-seeking dan juga policy-seeking (Kadima, 2014).

Maka, dalam kurun dua tahun ini, kita akan menonton berbagai atraksi dan manuver politik. Komunikasi, silaturahim, atau sekadar ngopi politik akan menjadi santapan hari-hari.

Tetapi kita juga akan menyaksikan singa pun tak bernyali mengaum sendirian merebut kekuasaan puncak di negeri ini.

Singa yang terpisah dari kawanannya bisa tak berdaya dikepung kawanan hiena yang punya insting koalisi sangat baik.

Semakin besar mangsa, semakin besar kekuatan koalisinya. Cara hiena yang solid bergerombol ternyata sangat efektif dalam memburu mangsa di sabana yang liar dan ganas.

Siapa bilang arena politik bukan padang berburu kuasa yang tak liar dan ganas? Lantas, siapa bernyali tak berkoalisi?

https://nasional.kompas.com/read/2022/05/26/06100041/koalisi-kala-singa-tak-berdaya-menghadapi-sekawanan-hiena

Terkini Lainnya

Tanggal 22 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 22 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
TNI Tembak 2 Anggota OPM yang Serang Pos Prajurit di Paro Nduga, tapi Berhasil Melarikan Diri

TNI Tembak 2 Anggota OPM yang Serang Pos Prajurit di Paro Nduga, tapi Berhasil Melarikan Diri

Nasional
Sebut Jaksa TI Tak Punya Mercy, KPK: Foto di Rumah Tetangga

Sebut Jaksa TI Tak Punya Mercy, KPK: Foto di Rumah Tetangga

Nasional
Kasus Korupsi Timah, Kejagung Dalami Kepemilikan Jet Pribadi Harvey Moeis

Kasus Korupsi Timah, Kejagung Dalami Kepemilikan Jet Pribadi Harvey Moeis

Nasional
Prabowo Minta Pendukung Tak Gelar Aksi saat MK Bacakan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Prabowo Minta Pendukung Tak Gelar Aksi saat MK Bacakan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Demokrat Sampaikan Kriteria Kadernya yang Bakal Masuk Kabinet Mendatang

Demokrat Sampaikan Kriteria Kadernya yang Bakal Masuk Kabinet Mendatang

Nasional
Antam Fokus Eksplorasi 3 Komoditas, Pengeluaran Preliminary Unaudited  Capai Rp 17,43 Miliar

Antam Fokus Eksplorasi 3 Komoditas, Pengeluaran Preliminary Unaudited Capai Rp 17,43 Miliar

Nasional
KPK Akan Panggil Kembali Gus Muhdlor sebagai Tersangka Pekan Depan

KPK Akan Panggil Kembali Gus Muhdlor sebagai Tersangka Pekan Depan

Nasional
Gibran Dikabarkan Ada di Jakarta Hari Ini, TKN: Agenda Pribadi

Gibran Dikabarkan Ada di Jakarta Hari Ini, TKN: Agenda Pribadi

Nasional
Unjuk Rasa di Patung Kuda Diwarnai Lempar Batu, TKN Minta Pendukung Patuhi Imbauan Prabowo

Unjuk Rasa di Patung Kuda Diwarnai Lempar Batu, TKN Minta Pendukung Patuhi Imbauan Prabowo

Nasional
Pemerintahan Baru Indonesia dan Harapan Perdamaian Rusia-Ukraina

Pemerintahan Baru Indonesia dan Harapan Perdamaian Rusia-Ukraina

Nasional
Prabowo Terima Kunjungan Eks PM Inggris Tony Blair di Kemenhan, Ini yang Dibahas

Prabowo Terima Kunjungan Eks PM Inggris Tony Blair di Kemenhan, Ini yang Dibahas

Nasional
KPK Sebut Surat Sakit Gus Muhdlor Ganjil: Agak Lain Suratnya, Sembuhnya Kapan Kita Enggak Tahu

KPK Sebut Surat Sakit Gus Muhdlor Ganjil: Agak Lain Suratnya, Sembuhnya Kapan Kita Enggak Tahu

Nasional
Panglima AL Malaysia Datang ke Indonesia, Akan Ikut Memperingati 3 Tahun KRI Nanggala

Panglima AL Malaysia Datang ke Indonesia, Akan Ikut Memperingati 3 Tahun KRI Nanggala

Nasional
Beralasan Sakit, Gus Muhdlor Tak Penuhi Panggilan KPK

Beralasan Sakit, Gus Muhdlor Tak Penuhi Panggilan KPK

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke