Di kubu KIH ada PDIP (18,95 persen), PKB (9,04 persen), Nasdem (6,72 persen), dan Hanura (5,26 persen). Total kekuatan 39,97 persen.
Walaupun koalisi KIH berhasil memenangi perolehan suara capres-cawapres (Joko Widodo-Jusuf Kalla), tetapi di parlemen tak menjadi kekuatan mayoritas.
Di kubu seberang ada KMP. Terdiri Gerindra (11,81 persen), Golkar (14,75 persen), PKS (6,79 persen), PPP (6,53 persen), dan PAN (7,59 persen). Jumlah kekuatan 47,47 persen, lebih kuat dari KIH.
Ada satu partai yang walaupun bersikap nonkoalisi, yaitu Partai Demokrat (10,19 persen), tapi terkadang dianggap memiliki kedekatan atau condong ke kubu KMP.
Dengan peta kekuatan di DPR seperti itu, PDIP dan koalisinya pun menjadi bulan-bulanan. KMP bahkan berhasil merevisi UU MD3.
Penentuan pimpinan DPR bukan lagi berdasarkan partai pemenang pemilu, melainkan sistem paket.
Dalam UU MD3 hasil revisi, yaitu UU Nomor 17 Tahun 2014, pada Pasal 84 ayat (1) disebutkan “Pimpinan DPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPR”.
Pada ayat (2) tercantum: “Pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih dari dan oleh anggota DPR dalam satu paket yang bersifat tetap”. Pukulan sangat telak terhadap KIH.
Realitasnya KMP menyapu bersih kursi pimpinan. Mereka memenangi paket pimpinan DPR.
Ketua DPR diambil Golkar (Setya Novanto) dengan wakil-wakilnya dipegang Gerindra (Fadli Zon), Demokrat (Agus Hermanto), PKS (Fahri Hamzah), dan PAN (Taufik Kurniawan). Begitu pula pimpinan komisi dan alat kelengkapannya lainnya.
Walaupun sidang diwarnai aksi walk out PDIP, PKB, Hanura, dan Nasdem, tetapi tetap saja tak mengubah keadaan.
Tak ayal, perseteruan dua kubu koalisi itu membuat panas panggung politik, hingga terjadi peristiwa meja sidang di DPR dijungkirbalikkan.
KIH bahkan sempat membuat pimpinan DPR tandingan. PDIP dan koalisinya gigit jari. PDIP merasa dizalimi. Pemenang pemilu tidak mendapatkan apa-apa.
Perseteruan sengit di Senayan itu juga membuat Istana kesulitan ketika Jokowi hendak memulai menjalankan pemerintahan.
Kekalahan PDIP saat itu juga dianggap sebagai cara berpolitik PDIP yang kaku dan sekeras banteng.
Mungkin juga karena merasa posisi di atas angin. Di politik yang bertumpu pada saling memengaruhi, daya elastis amat diperlukan.
Adagium lumrah di politik adalah “tiada kawan dan lawan yang abadi, hanya kepentingan yang abadi”.
Terbukti, setelah menguasai kursi-kursi di DPR, beberapa partai anggota KMP juga merapat ke Istana dan berada sepanggung di KIH. Ada Golkar, PAN, dan PPP. Di DPR dapat kursi, juga dapat jatah di kabinet.
Politik itu memang bukan hitam-putih. Politik itu tidak kaku. Politik itu sangat cair. Dinamikanya sangat tinggi.
Jadi kuat saja seperti singa belumlah cukup. Butuh kecepatan seperti citah dan tentu saja bersiasat seperti hiena.
Maka, untuk bisa mencari pasangan koalisi tentunya masing-masing partai harus pandai-pandai membaca peta kekuatan, platform, atau gestur partai-partai lain. Banyak faktor yang memungkinkan terjadi perkawinan partai.
Biasanya berada dalam satu frekuensi, punya akar sejarah sama, political chemistry-nya bisa pas, mempunyai ideologi beririsan, atau ada kemiripan platform politik, atau lewat jaringan perkoncoan.
Ada juga partai yang jauh berseberangan tetapi mereka dapat saling merapat ketika kepentingan masing-masing dapat dipertemukan.
Sejauh ini sudah ada KIB, yang dibidani Golkar, PAN, PPP. Tiga partai ini yang masuk belakangan ke KIH pada periode 2014-2019.
Golkar adalah partai papan atas sepanjang Pemilu di era reformasi. Persentase perolehan suaranya selalu di atas dua digit.
Sekarang berada di urutan ketiga (walau jumlah kursi di urutan kedua), turun dari urutan kedua pada Pemilu 2009 dan 2014, yang juga turun dari posisi pertama pada Pemilu 2004. Melihat rekam jejaknya, Golkar adalah partai kuat.
Golkar adalah partai Orde Baru yang mampu beradaptasi dan bertransformasi ke era reformasi.
PPP dan PAN masing-masing berada di urutan kedelapan dan kesembilan di DPR. PAN punya suara 6,84 persen dan PPP punya 4,52 persen.
Dengan Golkar yang punya suara 12,31 persen (dengan jumlah kursi 85 buah), maka KIB punya jumlah suara 23,67 persen.
Adapun jumlah kursi sebanyak 148 buah atau 25,74 persen, terdiri 85 kursi Golkar, 44 kursi PAN, dan 19 kursi PPP.
Ini berarti melampaui ketentuan 20 persen dari jumlah kursi DPR. Dengan demikian, KIB sudah punya tiket untuk pencalonan capres dan cawapres.
Bagaimana partai-partai lain? Sejumlah pimpinan partai sudah berkomunikasi dan bersilaturahim.
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto sudah bersilaturahim ke rumah Ketua Umum PDIP Megawati saat Idul Fitri awal Mei lalu.