JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengkritik dalih ratusan juta dukungan dari big data yang dilontarkan sejumlah elite soal alasan wacana penundaan pemilu.
Klaim itu sebelumnya disampaikan Ketua Umum PKB sekaligus Wakil Ketua DPR RI Muhaimin Iskandar serta Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Sebagian pakar telah membantah kemungkinan benarnya klaim tersebut.
Namun, seandainya pun itu valid, menurut Bivitri, klaim tersebut sama sekali tak dapat digunakan sebagai pembenaran menunda pemilu.
Baca juga: Pendukung Perpanjangan Masa Jabatan Presiden Harus Dicatat, Ahli Tata Negara UGM: Teroris Konstitusi
"Kita seakan-akan disodorkan pada pernyataan bahwa apapun maunya netizen harus dilakukan meski melanggar prinsip-prinsip konstitusionalisme. Itu berbahaya," ujar Bivitri dalam diskusi virtual, Rabu (16/3/2022l.
"Tidak bisa begitu saja dijalankan, atas nama mayoritas maka apa pun bisa dilanggar. Bukan begitu," lanjutnya.
Bivitri membuat perbandingan untuk menggambarkan bagaimana pola pikir mayoritanisme itu tidak masuk akal.
Ia memberi contoh mengenai kejadian pada 2009 di Swiss, satu-satunya negara yang disebut memakai referendum langsung untuk mengubah konstitusinya.
Baca juga: Luhut Beda Suara dengan Mahfud soal Pemilu, PKS: Jokowi Tak Kuat Pegang Kendali
"Hampir 60 persen rakyatnya bilang tidak boleh mendirikan menara masjid di Swiss, mayoritas menang, berarti sah, tapi benar kah itu sah? Karena itu keluar dari prinsip HAM, melanggar konstitusionalisme, maka tidak bisa dilaksanakan," jelasnya.
"Jadi tidak selamanya klaim mayoritas, apalagi mayoritasnya netizen dan klaimnya bisa diperdebatkan, itu bisa digunakan untuk menginjak-injak konstitusi," lanjut Bivitri.
Sebelumnya, tiga ketua umum partai politik yaitu Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan dan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto menjadi pihak pertama yang menyampaikan wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden.
Wacana ini diawali oleh Muhaimin yang mengusulkan Pemilu 2024 diundur dengan dalih khawatir mengganggu momentum kebangkitan ekonomi Tanah Air yang terdampak pandemi Covid-19 pada tahun tersebut.
Baca juga: Luhut Beda Suara soal Penundaan Pemilu, Jokowi Dinilai Perlu Sampaikan Sikap Final Pemerintah
Belakangan, isu ini juga diamplifikasi oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Muhaimin mengeklaim bahwa wacana penundaan pemilu didukung oleh 60 persen dari 100 juta akun di media sosial.
Sementara Luhut mengklaim, penundaan Pemilu 2024 didukung 110 juta orang di media sosial berdasarkan big data.
Hingga kini, keduanya tak bersedia membuka big data tersebut ke publik.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.