Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Soal Big Data 100 Juta Akun Dukung Penundaan Pemilu, Pakar: Konstitusi Tak Bisa Diinjak-injak Suara Netizen

Kompas.com - 16/03/2022, 17:42 WIB
Vitorio Mantalean,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengkritik dalih ratusan juta dukungan dari big data yang dilontarkan sejumlah elite soal alasan wacana penundaan pemilu.

Klaim itu sebelumnya disampaikan Ketua Umum PKB sekaligus Wakil Ketua DPR RI Muhaimin Iskandar serta Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.

Sebagian pakar telah membantah kemungkinan benarnya klaim tersebut.

Namun, seandainya pun itu valid, menurut Bivitri, klaim tersebut sama sekali tak dapat digunakan sebagai pembenaran menunda pemilu.

Baca juga: Pendukung Perpanjangan Masa Jabatan Presiden Harus Dicatat, Ahli Tata Negara UGM: Teroris Konstitusi

"Kita seakan-akan disodorkan pada pernyataan bahwa apapun maunya netizen harus dilakukan meski melanggar prinsip-prinsip konstitusionalisme. Itu berbahaya," ujar Bivitri dalam diskusi virtual, Rabu (16/3/2022l.

"Tidak bisa begitu saja dijalankan, atas nama mayoritas maka apa pun bisa dilanggar. Bukan begitu," lanjutnya.

Bivitri membuat perbandingan untuk menggambarkan bagaimana pola pikir mayoritanisme itu tidak masuk akal.

Ia memberi contoh mengenai kejadian pada 2009 di Swiss, satu-satunya negara yang disebut memakai referendum langsung untuk mengubah konstitusinya.

Baca juga: Luhut Beda Suara dengan Mahfud soal Pemilu, PKS: Jokowi Tak Kuat Pegang Kendali

"Hampir 60 persen rakyatnya bilang tidak boleh mendirikan menara masjid di Swiss, mayoritas menang, berarti sah, tapi benar kah itu sah? Karena itu keluar dari prinsip HAM, melanggar konstitusionalisme, maka tidak bisa dilaksanakan," jelasnya.

"Jadi tidak selamanya klaim mayoritas, apalagi mayoritasnya netizen dan klaimnya bisa diperdebatkan, itu bisa digunakan untuk menginjak-injak konstitusi," lanjut Bivitri.

Sebelumnya, tiga ketua umum partai politik yaitu Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan dan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto menjadi pihak pertama yang menyampaikan wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden.

Wacana ini diawali oleh Muhaimin yang mengusulkan Pemilu 2024 diundur dengan dalih khawatir mengganggu momentum kebangkitan ekonomi Tanah Air yang terdampak pandemi Covid-19 pada tahun tersebut.

Baca juga: Luhut Beda Suara soal Penundaan Pemilu, Jokowi Dinilai Perlu Sampaikan Sikap Final Pemerintah

Belakangan, isu ini juga diamplifikasi oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.

Muhaimin mengeklaim bahwa wacana penundaan pemilu didukung oleh 60 persen dari 100 juta akun di media sosial.

Sementara Luhut mengklaim, penundaan Pemilu 2024 didukung 110 juta orang di media sosial berdasarkan big data.

Hingga kini, keduanya tak bersedia membuka big data tersebut ke publik.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Prabowo Diharap Tetapkan 2 Syarat Utama Sebelum Tambah Kementerian

Prabowo Diharap Tetapkan 2 Syarat Utama Sebelum Tambah Kementerian

Nasional
Ide Prabowo Tambah Kementerian Sebaiknya Pertimbangkan Urgensi

Ide Prabowo Tambah Kementerian Sebaiknya Pertimbangkan Urgensi

Nasional
Wacana Prabowo Tambah Kementerian Diyakini Bakal Picu Problem

Wacana Prabowo Tambah Kementerian Diyakini Bakal Picu Problem

Nasional
Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Nasional
Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Nasional
Pakar Ungkap 'Gerilya' Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Pakar Ungkap "Gerilya" Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Nasional
Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Nasional
Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Nasional
Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Nasional
'Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit'

"Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit"

Nasional
Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Nasional
PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

Nasional
Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Nasional
Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com