JAKARTA, KOMPAS.com - Majelis hakim pada kasus korupsi di PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri) (Persero) tidak sependapat dengan jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Agung terkait tuntutan hukuman mati terhadap terdakwa Heru Hidayat.
Majelis hakim menilai tuntutan itu tidak sesuai dengan surat dakwaan yang menjadi acuan pembuktian perkara.
Hal itu mengacu pada Pasal 182 Ayat (4) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan bahwa putusan persidangan harus mengacu pada surat dakwaan.
Baca juga: Divonis Nihil, Terdakwa Kasus Asabri Heru Hidayat Lolos dari Tuntutan Hukuman Mati
“Surat dakwaan adalah pagar atau batasan yang jelas dalam memeriksa perkara persidangan. Untuk penuntut umum agar tidak melampaui kewenangan dalam menuntut terdakwa,” kata Hakim Anggota, Ali Muhtarom, dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa (18/1/2022).
Jaksa mendakwa Heru dengan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001.
Namun jaksa menuntut agar Heru dijatuhi hukuman mati sesuai ketentuan Pasal 2 Ayat (2) dalam undang-undang yang sama. Padahal Pasal 2 Ayat (2) UU Tipikor itu tidak dimasukkan oleh jaksa dalam dakwaanya.
“Maka terdakwa tidak tidaklah dapat dituntut berdasarkan pasal tersebut meskipun terdakwa melakukan tindak pidana korupsi berulang,” kata Ali.
Baca juga: Heru Hidayat Dituntut Hukuman Mati, Kuasa Hukum: Tuntutan Jaksa Menyimpang
Diketahui ,Pasal 2 Ayat (2) memungkinkan seorang terdakwa tindak pidana korupsi dijatuhi hukuman mati. Hukuman itu bisa diberikan jika tindak pidana korupsi yang dilakukan terdakwa memenuhi empat syarat.
Pertama, korupsi dilakukan saat negara dalam keadaan bahaya. Kedua, korupsi terjadi dalam situasi bencana alam nasional.
Ketiga, terdakwa melakukan tindak pidana korupsi berulang. Terakhir, korupsi dilakukan saat negara dalam kondisi krisis ekonomi dan moneter.
Maka, atas pertimbangan tersebut majelis hakim akhirnya menjatuhkan vonis nihil kepada Heru. Dengan divonis nihil, Heru Hidayat tak mengalami penambahan hukuman pidana dalam perkara itu. Pasalnya, hukuman yang diterima Heru dalam kasus sebelumnya sudah mencapai batas maksimal yang diperbolehkan undang-undang.
Majelis hakim berpedoman pada Pasal 67 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan bahwa seseorang yang telah dijatuhi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup tidak boleh dijatuhi pidana lagi kecuali pencabutan hak-hak tertentu.
Heru telah dihukum maksimal dalam kasus korupsi Jiwasraya. Dalam perkara korupsi Jiwasraya, Heru telah divonis penjara seumur hidup.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.