Oleh: Yaqut Cholil Qoumas*
PERINGATAN Hari Toleransi Internasional (International Day for Tolerance) yang jatuh setiap tanggal 16 November merupakan momentum untuk mengedukasi publik tentang pentingnya toleransi dalam kehidupan bangsa yang multikultur.
Toleransi yang jujur dan tidak dibuat-buat.Toleransi yang tumbuh dari hati, persis sebagaimana diajarkan dalam kitab suci.
Toleransi yang membuat hidup ini jadi rukun, meski berbeda agama, keyakinan, suku, etnis, dan golongan.
Baca juga: Hari Toleransi Internasional, Ini yang Buat Salatiga Jadi Kota Paling Toleran
Semestinya, setiap hari adalah hari toleransi. Setiap orang saling menghormati dan menghargai atas berbagai perbedaan yang ada.
Penghormatan dan penghargaan kepada sesama yang tidak menuntut balas. Penghormatan dan penghargaan kepada umat lain yang dilandasi semangat kemanusiaan dan perdamaian.
Dengan toleransi dan kerukunan, agenda kehidupan umat beragama terjamin keberlangsungannya dan pembangunan nasional lebih mudah terwujud.
Untuk mewujudkan hal itu, setiap diri dapat menjadi pejuang-pejuang toleransi dan kerukunan yang berkomitmen untuk terus merekatkan nasionalisme di atas kemajemukan.
Kita optimistis bahwa modal sosial-budaya dan agama ini dapat merukunkan dan mendamaikan.
Di saat yang sama kita mesti waspada bahwa potensi konflik bernuansa agama yang dapat menyebabkan disintegrasi bangsa mudah sekali tersulut oleh hal-hal sepele.
Soal mendasar yang menjadi sebab ketidakrukunan antarumat beragama dapat diringkas dalam dua hal.
Baca juga: Kisah dari Pusong Lama Aceh, Merawat Kebhinekaan dengan Toleransi Beragama
Pertama, ketidaktahuan tentang agama sendiri. Kedua, ketidakmauan mengenal agama orang lain. Sebab itu, menjadi umat beragama yang paripurna membutuhkan tirakat belajar yang panjang dan melelahkan.
Bukan hanya umat, bahkan tokoh agama pun tidak boleh berhenti belajar tentang ilmu agama yang dalam dan luas itu. Mengimani doktrin-doktrin agama, lalu mengamalkannya dalam kehidupan nyata bukanlah proses sekali jadi.
Beragama yang benar tidak cukup hanya modal semangat saja. Semangat terus belajar membuat umat dapat bersikap rendah hati dan dewasa dalam beragama.
Umat yang rendah hati, tidak takabur kepada sesama dan tidak merendahkan orang lain. Umat yang dewasa terkontrol emosi keagamaannya, rasional, dan tidak mudah marah.