JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Republik Indonesia adalah kepala negara sekaligus memegang kekuasan pemerintah. Sebagai kepala negara, Presiden memiliki hak prerogatif.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hak prerogratif adalah hak istimewa yang dipunyai oleh kepala negara mengenai hukum dan undang-undang di luar kekuatan badan-badan perwakilan.
Ada empat hak istimewa yang dimiliki oleh Presiden. Empat hak istimewa tersebut adalah amnesti, abolisi, grasi, dan rehabilitasi.
Baca juga: Jokowi Akan Beri Amnesti ke Saiful Mahdi, Apa Bedanya dengan Abolisi, Grasi, dan Rehabilitasi?
Keempat hak istimewa itu telah disebutkan secara langsung dalam konstitusi sejak awal kemerdekaan. Dengan hak istimewa itu, Presiden dapat mengubah nasib tersangka atau terpidana.
Empat hak istimewa ini tidak menyoal posisi benar atau salah, namun mempertimbangkan kepentingan umum dalam urusan kemanusiaan yang menjadi kepentingan negara.
Mengacu Pasal 14 UUD 1945 menyebutkan bahwa hanya Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi. Ketentuan ini sempat berubah dalam konstitusi UUD Sementara 1950.
Pasal 107 konstitusi yang hanya sementara itu mengatur bahwa pemberian amnesti, abolisi, dan grasi harus dengan kuasa undang-undang dan meminta pendapat Mahkamah Agung. Kelanjutan dari ketentuan ini adalah terbitnya UU Darurat No. 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi.
Baca juga: Tinggal Selangkah Lagi, Amnesti untuk Saiful Mahdi
Setelah amandemen UUD 1945 di masa reformasi, ada perubahan ketentuan soal empat hak istimewa tersebut.
Dengan perubahan ketentuan itu, Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Sementara, bila Presiden memberikan amnesti dan abolisi, maka dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Ketentuan itu diubah dengan tujuan untuk peningkatan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan oleh Presiden.
Lantas apa perbedaan keempat hak istimewa ini? Berikut Kompas.com rangkum perbedaan antara amnesti, abolisi, grasi dan rehabilitasi.