Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tiga Organisasi Internasional Kirim Surat, Minta Jokowi Batalkan Pemberhentian 51 Pegawai KPK

Kompas.com - 16/06/2021, 17:38 WIB
Irfan Kamil,
Kristian Erdianto

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Tiga organisasi internasional mengirim surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo pada Selasa (15/6/2021). Ketiga organisasi tersebut yakni Amnesty International Indonesia, Transparency International Indonesia, dan Greenpeace Indonesia.

Mereka meminta Jokowi membatalkan pemberhentian 51 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tidak lolos dalam tes wawasan kebangsaan (TWK).

Ketiga organisasi internasional itu menilai, tes yang merupakan bagian dari alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN) itu kontroversial.

“Pemberhentian pegawai KPK atas dasar TWK tidak memiliki dasar hukum dan menyalahi asas-asas pemerintahan yang baik,” kata Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Danang Widoyoko dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Rabu (16/6/2021).

Baca juga: ICW: Aneh jika KPK Berkoordinasi dengan Pihak Eksternal Terkait Hasil TWK

Danang menjelaskan, TWK hanya diatur oleh peraturan internal KPK yaitu Peraturan Komisi (Perkom) Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Status Pegawai KPK menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN).

Menurutnya, tidak ada undang-undang yang mengatur TWK sebagai prasyarat peralihan status pegawai KPK dari yang semula independen menjadi bagian dari pemerintah (ASN).

Dalam sosialisasi peralihan status, yakni pada tanggal 17 Februari 2021, lanjut Danang, Ketua KPK Firli Bahuri serta pimpinan lainnya juga tidak menjelaskan secara terbuka mengenai proses dan substansi TWK serta konsekuensi jika pegawai tidak lolos tes tersebut.

Lebih lanjut, berdasarkan informasi yang diterima ketiga organisasi tersebut, pertanyaan-pertanyaan TWK memasuki masalah yang sensitif dan bersifat pribadi seperti kepercayaan agama, pandangan politik dan ideologi.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai, proses TWK adalah bentuk diskriminasi yang sistematik dan merupakan pelanggaran terhadap hak-hak pekerja.

“Termasuk hak-hak sipil pegawai KPK yang sejatinya dilindungi oleh undang-undang nasional dan hukum internasional,” kata Usman.

Baca juga: Informasi TWK Dinilai Harus Transparan dan Akuntabel, Tak Terkait Rahasia Negara

Usman menyebut lima dasar hukum yang berpotensi dilanggar. Pertama, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 70/PUU-XVII/2019 terkait uji materi UU No. 19/2019 tentang KPK, yang menegaskan jika pengalihan status ASN

“Tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN.”

Kedua, ketentuan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 38 ayat (2) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menjamin hak-hak pegawai KPK untuk mendapat perlakuan adil serta layak maupun hak atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil.

Ketiga, ketentuan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 26 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang diratifikasi oleh Indonesia melalui UU Nomor 11 Tahun 2005 yang mengatur bahwa diskriminasi pekerja atas dasar pemikiran dan keyakinan pribadi melanggar hak atas kebebasan berpikir, berhati nurani, beragama dan berkeyakinan.

Keempat, ketentuan Pasal 2 dan 7 Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR) bahkan menjamin hak setiap orang atas kesempatan yang sama untuk dipromosikan, direkrut, dan diberhentikan tanpa adanya diskriminasi dan tanpa pertimbangan apa pun selain senioritas dan kemampuan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Jokowi Resmikan Program Pendidikan Dokter Spesialis Berbasis Rumah Sakit

Jokowi Resmikan Program Pendidikan Dokter Spesialis Berbasis Rumah Sakit

Nasional
Bawaslu Papua Tengah Telat Masuk Sidang dan Tak Dapat Kursi, Hakim MK: Kalau Kurang, Bisa Dipangku

Bawaslu Papua Tengah Telat Masuk Sidang dan Tak Dapat Kursi, Hakim MK: Kalau Kurang, Bisa Dipangku

Nasional
Sengketa Pileg di Papua Tengah, MK Soroti KPU Tak Bawa Bukti Hasil Noken

Sengketa Pileg di Papua Tengah, MK Soroti KPU Tak Bawa Bukti Hasil Noken

Nasional
Dilema Prabowo Membawa Orang 'Toxic'

Dilema Prabowo Membawa Orang "Toxic"

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi soal Kabinet ke Megawati, Pengamat: Harus Koordinasi dengan Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi soal Kabinet ke Megawati, Pengamat: Harus Koordinasi dengan Prabowo

Nasional
Soal Kabinet Prabowo-Gibran, Pengamat Ingatkan Bukan Sekadar Bagi-bagi Kekuasaan

Soal Kabinet Prabowo-Gibran, Pengamat Ingatkan Bukan Sekadar Bagi-bagi Kekuasaan

Nasional
Sidang Perdana Praperadilan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Digelar Hari Ini

Sidang Perdana Praperadilan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Digelar Hari Ini

Nasional
Menakar Siapa Orang 'Toxic' yang Dimaksud Luhut, Lebih Relevan ke Kubu 01?

Menakar Siapa Orang "Toxic" yang Dimaksud Luhut, Lebih Relevan ke Kubu 01?

Nasional
Niat Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati soal Kabinet Dimentahkan PDI-P

Niat Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati soal Kabinet Dimentahkan PDI-P

Nasional
SBY Doakan dan Dukung Prabowo Sukses Jaga Keutuhan NKRI sampai Tegakkan Keadilan

SBY Doakan dan Dukung Prabowo Sukses Jaga Keutuhan NKRI sampai Tegakkan Keadilan

Nasional
'Presidential Club', 'Cancel Culture', dan Pengalaman Global

"Presidential Club", "Cancel Culture", dan Pengalaman Global

Nasional
Hari Ini, Hakim Agung Gazalba Saleh Mulai Diadili dalam Kasus Gratifikasi dan TPPU

Hari Ini, Hakim Agung Gazalba Saleh Mulai Diadili dalam Kasus Gratifikasi dan TPPU

Nasional
Respons Partai Pendukung Prabowo Usai Luhut Pesan Tak Bawa Orang 'Toxic' ke Dalam Pemerintahan

Respons Partai Pendukung Prabowo Usai Luhut Pesan Tak Bawa Orang "Toxic" ke Dalam Pemerintahan

Nasional
Bongkar Dugaan Pemerasan oleh SYL, KPK Hadirkan Pejabat Rumah Tangga Kementan

Bongkar Dugaan Pemerasan oleh SYL, KPK Hadirkan Pejabat Rumah Tangga Kementan

Nasional
Soal Maju Pilkada DKI 2024, Anies: Semua Panggilan Tugas Selalu Dipertimbangkan Serius

Soal Maju Pilkada DKI 2024, Anies: Semua Panggilan Tugas Selalu Dipertimbangkan Serius

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com