Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mustakim
Jurnalis

Eksekutif Produser program talkshow Satu Meja The Forum dan Dua Arah Kompas TV

Pilkada 2020 dan Cukong Politik

Kompas.com - 04/11/2020, 09:20 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PEMILIHAN Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 sudah di depan mata. Awal bulan depan, warga di 270 daerah, meliputi sembilan provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota akan menentukan siapa yang layak memimpin mereka.

Meski ditentang dan dikritik banyak kalangan, pemerintah tetap menggelar Pilkada Serentak 2020.

Tahapan Pilkada pun terus berjalan meski virus corona masih mengancam dan pandemi belum sepenuhnya terkendali. Jika tak ada aral melintang, 9 Desember 2020 pemungutan suara akan dilakukan.

Indonesia Corruption Watch (ICW) menuding, ada kepentingan cukong atau pemilik modal di balik keputusan pemerintah dan DPR menggelar pilkada di tengah virus corona yang masih merajalela. Pasalnya, sudah menjadi rahasia umum pilkada menjadi ajang transaksi para ‘pembajak demokrasi’ ini.

Disokong cukong

Kecurigaan ICW bukan tanpa dasar. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan, sebagian besar calon kepala daerah didanai sponsor atau disokong cukong.

Menurut hasil kajian KPK, sekitar 82 persen kepala daerah didanai sponsor. Ada aliran dana dari sponsor kepada para calon kepala daerah yang akan berlaga dalam Pilkada.

Hasil kajian KPK ini mengonfirmasi kecurigaan masyarakat bahwa ada peran para "pemburu rente" di balik Pilkada. Sponsor atau pemodal yang kerap disebut cukong ini berhubungan erat dengan kandidat. Ini terjadi karena ada simbiosis mutualisme antara calon kepala daerah dan para penyandang dananya.

Kehadiran sponsor di balik para calon kepala daerah terjadi karena mahalnya ongkos pilkada. Biaya untuk memenangkan pilkada, jauh lebih besar dari harta kekayaan yang dimiliki para kandidat.

Hasil kajian KPK menunjukkan, dana kampanye yang dikeluarkan calon jumlahnya lebih besar dari harta kekayaannya. Hal itu bisa dilihat dari Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang mereka setor ke KPK.

Mahalnya ongkos politik

Mahalnya ongkos politik dituding menjadi pemicu maraknya "penyandang dana" di gelaran Pilkada. Para kandidat harus mengeluarkan dana yang tak sedikit untuk bisa berlaga dan memenangkan kontestasi.

Salah satu faktor yang membuat ongkos Pilkada mahal adalah budaya "mahar politik". Guna "membeli" perahu parpol kandidat harus mengeluarkan dana besar. Dana yang dikeluarkan bisa jauh lebih besar jika calon ingin mendapat dukungan dari banyak partai.

IlustrasiKOMPAS/DIDIE SW Ilustrasi

Selain mahar, kandidat juga harus menyiapkan dana untuk belanja logistik kampanye, mendanai mesin parpol, tim sukses, relawan, konsultan politik, dan lembaga survei.
Kandidat akan membutuhkan dana lebih besar lagi jika mereka melakukan politik uang. Karena, meski dilarang praktik politik haram ini masih kerap dilakukan. Kondisi ini mau tak mau membuat kandidat mencari "partner" yang bisa mendanai ongkos politik yang tak sedikit.

Korupsi kebijakan

Keberadaan para cukong di Pilkada ini mencederai dan merusak demokrasi. Pasalnya, setelah terpilih kepala daerah tersebut harus balas jasa.

Bukan mengembalikan uang, namun hal-hal yang bisa dilakukan lewat kekuasaan. Alih-alih mengabdi dan bekerja untuk warga, mereka akan lebih sibuk melayani para penyandang dana.

Pada akhirnya keberadaan para cukong ini akan melahirkan korupsi kebijakan.

Menurut Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD, korupsi kebijakan jauh lebih berbahaya dari korupsi uang. Korupsi uang bisa dihitung, sementara korupsi kebijakan susah dihitung namun memiliki daya rusak yang besar.

Korupsi kebijakan ini beragam. Mulai dari bagi-bagi proyek, pengadaan barang dan jasa hingga pemberian izin penguasaan lahan, hutan atau tambang. Dengan mendukung kepala daerah terpilih, sangat mudah bagi para cukong untuk mengintervensi kebijakan dan regulasi.

Sejauh mana peran para cukong di dalam Pilkada? Apa benar mereka berperan penting dalam pemenangan kandidat? Bagaimana mekanisme pengawasan sumbangan bagi kandidat? Apa yang mesti dilakukan agar bisa terlepas dari jerat para pemburu rente ini?

Saksikan pembahasannya dalam talkshow Satu Meja The Forum, Rabu (4/11/2020), yang disiarkan langsung di Kompas TV mulai pukul 20.00 WIB.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

PPP Buka Peluang Usung Sandiaga jadi Cagub DKI

PPP Buka Peluang Usung Sandiaga jadi Cagub DKI

Nasional
Soal Jokowi dan PDI-P, Joman: Jangan karena Beda Pilihan, lalu Dianggap Berkhianat

Soal Jokowi dan PDI-P, Joman: Jangan karena Beda Pilihan, lalu Dianggap Berkhianat

Nasional
Surya Paloh Buka Peluang Nasdem Usung Anies pada Pilkada DKI

Surya Paloh Buka Peluang Nasdem Usung Anies pada Pilkada DKI

Nasional
Dukung Prabowo-Gibran, Surya Paloh Sebut Nasdem Belum Dapat Tawaran Menteri

Dukung Prabowo-Gibran, Surya Paloh Sebut Nasdem Belum Dapat Tawaran Menteri

Nasional
PKS: Pak Anies Sudah Jadi Tokoh Nasional, Kasih Kesempatan Beliau Mengantarkan Kader Kami Jadi Gubernur DKI

PKS: Pak Anies Sudah Jadi Tokoh Nasional, Kasih Kesempatan Beliau Mengantarkan Kader Kami Jadi Gubernur DKI

Nasional
Soal Bertemu Prabowo, Sekjen PKS: Tunggu Saja, Nanti Juga Kebagian

Soal Bertemu Prabowo, Sekjen PKS: Tunggu Saja, Nanti Juga Kebagian

Nasional
Prabowo Absen dalam Acara Halalbihalal PKS

Prabowo Absen dalam Acara Halalbihalal PKS

Nasional
Joman: Jokowi Dukung Prabowo karena Ingin Penuhi Perjanjian Batu Tulis yang Tak Dibayar Megawati

Joman: Jokowi Dukung Prabowo karena Ingin Penuhi Perjanjian Batu Tulis yang Tak Dibayar Megawati

Nasional
Langkah Mahfud Membersamai Masyarakat Sipil

Langkah Mahfud Membersamai Masyarakat Sipil

Nasional
5 Smelter Terkait Kasus Korupsi Timah yang Disita Kejagung Akan Tetap Beroperasi

5 Smelter Terkait Kasus Korupsi Timah yang Disita Kejagung Akan Tetap Beroperasi

Nasional
Deretan Mobil Mewah yang Disita dalam Kasus Korupsi Timah, 7 di Antaranya Milik Harvey Moeis

Deretan Mobil Mewah yang Disita dalam Kasus Korupsi Timah, 7 di Antaranya Milik Harvey Moeis

Nasional
[POPULER NASIONAL] PKS Sebut Surya Paloh Main Cantik di Politik | Ganjar-Mahfud Dapat Tugas Baru dari Megawati

[POPULER NASIONAL] PKS Sebut Surya Paloh Main Cantik di Politik | Ganjar-Mahfud Dapat Tugas Baru dari Megawati

Nasional
Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Nasional
Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com