Salin Artikel

Pilkada 2020 dan Cukong Politik

PEMILIHAN Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 sudah di depan mata. Awal bulan depan, warga di 270 daerah, meliputi sembilan provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota akan menentukan siapa yang layak memimpin mereka.

Meski ditentang dan dikritik banyak kalangan, pemerintah tetap menggelar Pilkada Serentak 2020.

Tahapan Pilkada pun terus berjalan meski virus corona masih mengancam dan pandemi belum sepenuhnya terkendali. Jika tak ada aral melintang, 9 Desember 2020 pemungutan suara akan dilakukan.

Indonesia Corruption Watch (ICW) menuding, ada kepentingan cukong atau pemilik modal di balik keputusan pemerintah dan DPR menggelar pilkada di tengah virus corona yang masih merajalela. Pasalnya, sudah menjadi rahasia umum pilkada menjadi ajang transaksi para ‘pembajak demokrasi’ ini.

Disokong cukong

Kecurigaan ICW bukan tanpa dasar. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan, sebagian besar calon kepala daerah didanai sponsor atau disokong cukong.

Menurut hasil kajian KPK, sekitar 82 persen kepala daerah didanai sponsor. Ada aliran dana dari sponsor kepada para calon kepala daerah yang akan berlaga dalam Pilkada.

Hasil kajian KPK ini mengonfirmasi kecurigaan masyarakat bahwa ada peran para "pemburu rente" di balik Pilkada. Sponsor atau pemodal yang kerap disebut cukong ini berhubungan erat dengan kandidat. Ini terjadi karena ada simbiosis mutualisme antara calon kepala daerah dan para penyandang dananya.

Kehadiran sponsor di balik para calon kepala daerah terjadi karena mahalnya ongkos pilkada. Biaya untuk memenangkan pilkada, jauh lebih besar dari harta kekayaan yang dimiliki para kandidat.

Hasil kajian KPK menunjukkan, dana kampanye yang dikeluarkan calon jumlahnya lebih besar dari harta kekayaannya. Hal itu bisa dilihat dari Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang mereka setor ke KPK.

Mahalnya ongkos politik

Mahalnya ongkos politik dituding menjadi pemicu maraknya "penyandang dana" di gelaran Pilkada. Para kandidat harus mengeluarkan dana yang tak sedikit untuk bisa berlaga dan memenangkan kontestasi.

Salah satu faktor yang membuat ongkos Pilkada mahal adalah budaya "mahar politik". Guna "membeli" perahu parpol kandidat harus mengeluarkan dana besar. Dana yang dikeluarkan bisa jauh lebih besar jika calon ingin mendapat dukungan dari banyak partai.

Selain mahar, kandidat juga harus menyiapkan dana untuk belanja logistik kampanye, mendanai mesin parpol, tim sukses, relawan, konsultan politik, dan lembaga survei.
Kandidat akan membutuhkan dana lebih besar lagi jika mereka melakukan politik uang. Karena, meski dilarang praktik politik haram ini masih kerap dilakukan. Kondisi ini mau tak mau membuat kandidat mencari "partner" yang bisa mendanai ongkos politik yang tak sedikit.

Korupsi kebijakan

Keberadaan para cukong di Pilkada ini mencederai dan merusak demokrasi. Pasalnya, setelah terpilih kepala daerah tersebut harus balas jasa.

Bukan mengembalikan uang, namun hal-hal yang bisa dilakukan lewat kekuasaan. Alih-alih mengabdi dan bekerja untuk warga, mereka akan lebih sibuk melayani para penyandang dana.

Pada akhirnya keberadaan para cukong ini akan melahirkan korupsi kebijakan.

Menurut Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD, korupsi kebijakan jauh lebih berbahaya dari korupsi uang. Korupsi uang bisa dihitung, sementara korupsi kebijakan susah dihitung namun memiliki daya rusak yang besar.

Korupsi kebijakan ini beragam. Mulai dari bagi-bagi proyek, pengadaan barang dan jasa hingga pemberian izin penguasaan lahan, hutan atau tambang. Dengan mendukung kepala daerah terpilih, sangat mudah bagi para cukong untuk mengintervensi kebijakan dan regulasi.

Sejauh mana peran para cukong di dalam Pilkada? Apa benar mereka berperan penting dalam pemenangan kandidat? Bagaimana mekanisme pengawasan sumbangan bagi kandidat? Apa yang mesti dilakukan agar bisa terlepas dari jerat para pemburu rente ini?

Saksikan pembahasannya dalam talkshow Satu Meja The Forum, Rabu (4/11/2020), yang disiarkan langsung di Kompas TV mulai pukul 20.00 WIB.

https://nasional.kompas.com/read/2020/11/04/09201781/pilkada-2020-dan-cukong-politik

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke