JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Komisi X DPR, Hetifah Sjaifudian, meminta pemerintah daerah dan sekolah memutuskan pelaksanaan sekolah tatap muka secara hati-hati di tengah pandemi Covid-19.
Ia mengatakan, izin pembukaan sekolah yang diberikan pemerintah pusat merupakan pilihan, bukan kewajiban.
"Saya berharap kebijakan masing-masing daerah dan sekolah menentukan apa yang terbaik bagi mereka, karena layer pengambilan keputusan masih banyak dan terakhir keputusan ada di orangtua," kata Hetifah saat dihubungi, Rabu (19/8/2020).
Baca juga: Kemendikbud Didesak Pertimbangkan Belajar Tatap Muka di Tengah Pandemi
Hetifah pun berharap keputusan sekolah tatap muka menjadi pilihan terakhir bagi sekolah dan orangtua jika pembelajaran jarak jauh (PJJ) benar-benar sulit dilakukan.
Menurut dia, tidak dimungkiri bahwa banyak masyarakat yang kesulitan dengan PJJ, sehingga proses belajar-mengajar tidak optimal.
"Menurut saya sendiri, sebaiknya kebijakan memasukkan anak ke sekolah diambil sebagai pilihan terakhir jika memang PJJ tidak memungkinkan dilakukan atas dasar kondisi keluarga tertentu," tuturnya.
Sejumlah catatan Komisi X, di antaranya akses internet dan gawai (gadget), kemampuan orangtua mendampingi belajar di rumah, dan kompetensi guru dalam pelaksanaan PJJ.
Kendati demikian, Hetifah menegaskan agar sekolah menerapkan protokol kesehatan yang ketat seandainya memutuskan melaksanakan belajar tatap muka.
Baca juga: Data Kemendikbud, 9 Sekolah di Jakarta Gelar KBM Tatap Muka meski Masih Zona Merah
Ia menyatakan, sekolah harus menjadi tempat yang betul-betul aman bagi anak-anak.
"Yang penting kita melakukan pemeriksaan terhadap check list yang wajib dilakukan. Sekolah harus menjadi tempat yang lebih aman dari rumah, terutama bagi sekelompok keluarga rentan," ujar Hetifah.
Sementara itu, Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Aman Pulungan mendesak Kemendikbud mempertimbangkan rencana kegiatan pembelajaran secara tatap muka di zona kuning dan hijau Covid-19.
Baca juga: Survei SMRC: 67 Persen Responden Kesulitan Sekolah Online
Ia menilai kebijakan tersebut berpotensi memperluas penyebaran virus corona, khususnya terhadap anak-anak.
"Kebijakan ini (belajar secara tatap muka) harus dipertimbangkan, sekitar pelajar di sekolah dan pesantren itu 70 juta sampai 80 juta, ini harus dilindungi," kata Aman, Senin (17/8/2020).
Selain itu, epidemiolog dari Eijkman Oxford Clinical Research Unit, Iqbal Elyazar, mempertanyakan sejauh mana kajian pemerintah sebelum memutuskan memberikan izin pelaksanaan sekolah tatap muka.
Keputusan tersebut dinilai ceroboh lantaran pemerintah tidak memikirkan berapa anak yang harus diselamatkan jika mereka terpapar Covid-19.
"Apakah tim pakar pemerintah juga pernah sampaikan secara jujur dan terbuka berapa banyak anak-anak kita yang bisa diselamatkan dan mereka enggak perlu masuk rumah sakit," kata Iqbal.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.