JAKARTA, KOMPAS.com - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat 38 kasus penodaan agama yang terjadi sejak Januari hingga Mei 2020.
Ketua YLBHI Asfinawati mengungkapkan, terdapat tiga peraturan perundang-undangan yang digunakan untuk menjerat dalam seluruh kasus penodaan agama tersebut.
"Pasal yang digunakan adalah Pasal 156a KUHP, Pasal 59 (3) UU Ormas, dan Pasal 28 (2) Jo 45a (2) UU ITE," ujar Asfinawati dalam diskusi daring, Selasa (9/6/2020).
Baca juga: YLBHI Pertanyakan Penggunaan Fatwa dalam Kasus Penodaan Agama
Adapun sebaran 38 kasus penodaan itu terjadi di 16 provinsi, meliputi Sulawesi Selatan 6 kasus, Jawa Timur 5 kasus, Maluku Utara 5 kasus, Jawa Barat 4 kasus, dan Sumatera Utara 4 kasus.
Kemudian Kalimantan Selatan 2 kasus, Kepulauan Riau 2 kasus, DKI Jakarta 2 kasus, Bali 1 kasus, Gorontalo 1 kasus dan Jambi 1 kasus.
Selanjutnya, NTB 1 kasus, Papua 1 kasus, Riau 1 kasus, Sulawesi Utara 1 kasus dan Sumatera Selatan 1 kasus.
Asfinawati mengungkapkan, dari 38 kasus tersebut, ada kasus yang melibatkan massa.
"Bahkan ada sebuah kasus, masyarakat menangkap dan kemudian dibawa ke kantor kepolisian dan kepolisian memang cukup dilematis," kata Asfinawati.
Baca juga: Komnas Perempuan Catat Ada Diskriminasi dalam Kasus Penodaan Agama
Selain itu, dari total temuan kasus penodaan agama tersebut, terdapat 11 kasus yang belum ditetapkan.
Asfinawati juga menyebut terdapat kasus dengan tersangka anak di bawah 18 tahun yang cukup banyak, yaitu menyeret lima tersangka dalam dua kasus.
Tiga dari lima tersangka tersebut bahkan masih berusia 14, 15, dan 16 tahun.
Kemudian terdapat enam kasus dengan pelaku yang masih muda dengan kriteria sudah melewati usia 18 tahun, namun masih di bawah 21 tahun.
"Dari enam kasus di atas melibatkan 8 orang tersangka, dua berusia 18 tahun, dua orang berusia 19 tahun, dua orang berusia 20 tahun, dan dua orang berusia 21 tahun," katanya.
"Dari 38 kasus, 27 kasus terkait penggunaan media sosial," ucap Asfinawati.
Baca juga: Komnas HAM Sebut Pasal Penodaan Agama dalam RKUHP Masih Multitafsir
Asfinawati menambahkan, seluruh kasus tersebut dianggap sebagai penodaan agama oleh publik, aparat penegak hukum, termasuk Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).
Mulai dari penafsiran agama, dituduh menghina agama, hingga mengaku agama tertentu.
"Termasuk menggunakan logo kepala anjing untuk nasi bungkus dan membubarkan shalat Jumat dalam rangka protokol kesehatan Covid-19," kata Asfinawati.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.