Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saksi Sebut Staf Imam Nahrawi Tagih 20 Persen Anggaran Satlak Prima

Kompas.com - 21/02/2020, 15:34 WIB
Dylan Aprialdo Rachman,
Fabian Januarius Kuwado

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Program Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas (Satlak Prima) Tahun 2017 Chandra Bakti mengungkapkan, dua bawahan mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi pernah menagih memotong anggaran Satlak Prima sebesar 20 persen.

Dua bawahan Imam Nahrawi itu adalah Sekretaris Pribadi Imam bernama Nurohman dan staf khusus Menpora bernama Husein.

Hal itu diungkap Chandra saat bersaksi untuk Imam sebagai terdakwa kasus dugaan suap terkait pengurusan proposal dana hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) dan gratifikasi dari sejumlah pihak.

"Waktu itu menurut keterangan Pak Gatot, selaku Deputi Harmonisasi dan Kemitraan Kemenpora, saat itu beliau mengumpulkan asdep-asdep di Deputi V. Pak Gatot diminta untuk meng-collect uang permintaan dari Pak Komeng, Pak Nurohman maksudnya. Dia dulu Sespri-nya Pak Imam," kata Chandra di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (21/2/2020).

Baca juga: Saksi Ungkap Adanya Penyerahan Uang Rp 2 Miliar ke Aspri Imam Nahrawi

Chandra pun mengonfirmasi keterangannya dalam penyidikan yang dibacakan jaksa KPK.
Berdasarkan keterangan Chandra dalam BAP, ia pernah dipanggil oleh Direktur Perencanaan dan Anggaran Program Satlak Prima, Tommy Suhartono.

Saat ia datang, sudah ada Husein dan Nurohman. Pada saat itu, Tommy memaparkan anggaran Satlak Prima.

Tommy, lanjut dia, meminta dirinya menyisihkan 20 persen dari masing-masing item kegiatan.

Atas permintaan itu, Chandra tidak mau menindaklanjutinya.

Beberapa bulan kemudian, Nurohman menagih dirinya soal penyisihan anggaran sebesar 20 persen itu. Namun, Chandra kembali menolak permintaan tersebut.

Baca juga: Gratifikasi Imam Nahrawi: Untuk Desain Rumah hingga Beli Tiket F1

"Betul. Karena ketika 2017 itu Pak Sesmen peralihan, Pak Sesmen kan Pak Gatot itu menjadi Sesmen. Terus beliau mengeluarkan edaran tidak ada lagi sifatnya penarikan tunai. Jadi pembayaran tunai sifatnya hanya langsung ke penerima bantuan. Jadi tidak bisa lagi. Makanya saya tidak mau memenuhi itu. Memang dari Pak Ses arahan itu jangan sampai ada penarikan semacam itu," kata Chandra.

"Saya laporkan, waktu itu kan masih Pak Gatot ya. Ya Pak Gatot bilang jangan lakukan itu," pungkas Chandra.

Sebelumnya, Imam didakwa menerima suap sebesar Rp 11,5 miliar dari mantan Sekretaris Jenderal Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Ending Fuad Hamidy dan mantan Bendahara KONI Johnny E Awuy.

Suap tersebut diterima Imam melalui asisten pribadinya, Miftahul Ulum.

Baca juga: Jaksa Telusuri Tagihan Kartu Kredit Aspri Imam Nahrawi

Menurut jaksa, suap tersebut dimaksudkan agar Imam dan Ulum mempercepat proses persetujuan dan pencairan bantuan dana hibah yang diajukan KONI kepada Kemenpora RI tahun kegiatan 2018.

Yakni, terkait proposal bantuan dana hibah dalam rangka pelaksanaan tugas pengawasan dan pendampingan program peningkatan prestasi pada Multi Eventh Asian Games 2018 dan Asian Para Games 2018.

Serta terkait proposal dukungan KONI dalam rangka pengawasan dan pendampingan seleksi calon atlet dan pelatih atlet berprestasi tahun 2018.

Imam Nahrawi juga disebut menerima gratifikasi dengan total sekitar Rp 8,648 miliar. Menurut jaksa, gratifikasi itu diterima Imam melalui Miftahul Ulum.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Ide Prabowo Tambah Kementerian Sebaiknya Pertimbangkan Urgensi

Ide Prabowo Tambah Kementerian Sebaiknya Pertimbangkan Urgensi

Nasional
Wacana Prabowo Tambah Kementerian Diyakini Bakal Picu Problem

Wacana Prabowo Tambah Kementerian Diyakini Bakal Picu Problem

Nasional
Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Nasional
Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Nasional
Pakar Ungkap 'Gerilya' Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Pakar Ungkap "Gerilya" Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Nasional
Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Nasional
Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Nasional
Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Nasional
'Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit'

"Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit"

Nasional
Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Nasional
PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

Nasional
Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Nasional
Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Nasional
Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com