JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua DPP Partai Golkar Ace Hasan Syadzily mengatakan, partainya tetap konsisten menginginkan pemilihan kepala daerah (pilkada) dilakukan secara langsung atau dipilih langsung oleh rakyat.
Hal itu disampaikan Ace menyusul pernyataan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang mempertanyakan relevansi penyelenggaraan Pilkada secara langsung.
"Ya kita sejauh ini masih konsisten bahwa pilkada lebih baik dilaksanakan secara langsung," kata Ace di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (7/11/2019).
Baca juga: Tito Sebut Pilkada Langsung Banyak Mudarat, Bawaslu Klaim Sudah Bekerja Baik
Ace mengatakan, ia tak mempermasalahkan penyelenggaraan pilkada dievaluasi guna mencari pemimpin daerah terbaik.
Namun, menurut Ace, pilkada secara langsung masih tetap berdampak positif, karena langsung menampung suara rakyat.
"Ya tentu positifnya, karena apa? karena suara rakyat kan bisa terejawantahkan secara langsung," ujar dia.
Apabila tidak ada pilkada secara langsung, lanjut Ace, maka hal itu pertanda kemunduran demokrasi.
Baca juga: Politisi Gerindra Sebut Pilkada Langsung Memicu Sistem Politik Berbiaya Tinggi
"Ya tentu menurut saya itu sebuah kemunduran. Itu perdebatan lama," lanjut dia.
Sebelumnya, Mendagri Tito Karnavian mempertanyakan apakah Pilkada langsung masih relevan saat ini.
Hal itu dikatakan Tito saat ditanya persiapan Pilkada oleh wartawan, usai rapat kerja dengan Komisi II DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, (6/11/2019).
"Tapi kalau dari saya sendiri justru pertanyaan saya adalah apakah sistem poltik pemilu Pilkada ini masih relevan setelah 20 tahun," kata Tito seperti dikutip dari Tribunnews.
Sebagai mantan Kapolri, ia tidak heran apabila banyak kepala daerah yang terjerat kasus tindak pidana korupsi.
Baca juga: Sekjen PPP Sebut Pilkada Langsung Banyak Kekurangan, Mesti Dievaluasi
Hal itu karena besarnya ongkos politik yang dikeluarkan pasangan calon, karena sistem pilkada langsung.
"Banyak manfaatnya yakni partisipasi demokrasi, tapi kita lihat mudaratnya juga ada, politik biaya tinggi. Kepala daerah kalau nggak punya Rp 30 miliar mau jadi bupati, mana berani dia," kata dia.
Tito berpandangan bahwa mudarat pilkada langsung tidak bisa dikesampingkan. Oleh karena itu, ia menganjurkan adanya riset atau kajian dampak atau manfaat dari pilkada langung.
"Laksanakan riset akademik. Riset akademik tentang dampak negatif dan positif pemilihan pilkada langsung. Kalau dianggap positif, fine. Tapi bagaiamana mengurangi dampak negatifnya? Politik biaya tinggi, bayangin," kata Tito.
Baca juga: Pilkada 2020, Bawaslu Pertanyakan Perekaman Data E-KTP di Papua yang Belum Rampung
Tito tidak menjawab saat ditanya apakah kajian tersebut nantinya akan mengarah pada wacana pilkada tidak langsung atau dipilih melalui DPRD.
Yang pasti menurutnya saat ini perlu perbaikan dari sistem pilkada langsung agar tidak terlalu banyak menimbulkan dampak negatif.
"Bagaimana solusi mengurangi dampak negatifnya, supaya enggak terjadi korupsi biar tidak terjadi OTT lagi," pungkasnya.