JAKARTA, KOMPAS.com - Personel Polri yang bertugas mengawal aksi unjuk rasa di sejumah daerah di Papua dan Papua Barat, Senin (19/8/2019), tidak dibekali peluru tajam.
Demikian diungkapkan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Dedi Prasetyo di Gedung Humas Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin.
"Perlu saya tegaskan, untuk aparat kepolisian, dalam rangka penanganan pengunjuk rasa di manapun, tidak dibekali dengan peluru tajam. Ini perlu dicatat," ujar Dedi.
Baca juga: Kerusuhan Manokwari dan Duduk Persoalannya...
Kebijakan tersebut diambil demi mencegah adanya pihak-pihak tidak bertanggung jawab yang ingin memanfaatkan peristiwa ini,
"Kita khawatir, ada pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan situasi dan membuat ini martir atau trigger, sehingga bisa jadi situasi yang saat ini sudah kondusif, menjadi panas kembali apabila dimanfaatkan oleh oknum tertentu," ungkap dia.
Hingga Senin malam sendiri, situasi di sejumlah titik di Papua dan Papua Barat sudah kondusif setelah demonstrasi tersebut. Menurut polisi, tidak ada insiden yang menonjol untuk wilayah Jayapura, Papua.
Di Manokwari, Dedi mengatakan terdapat beberapa titik jalan yang masih diblokade oleh massa. Meski jumlahnya tidak banyak, aparat TNI-Polri terus berdialog dengan masyarakat.
Kemudian, di Sorong, Papua Barat, juga cukup kondusif. Meski sebelumnya sempat terjadi insiden perusakan Bandara Domine Eduard Osok, namun situasi dapat dikendalikan.
Baca juga: Setelah Situasi Manokwari Membaik, Mendagri Panggil 3 Gubernur
Selain terus bersiaga terhadap potensi kericuhan, polisi khususnya Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, terus memantau akun-akun yang menyebarkan konten provokatif.
Dedi mangatakan, massa yang berunjuk rasa diduga terprovokasi konten negatif di media sosial terkait penangkapan tersebut sehingga aksi berbuntut kericuhan.
Konten-konten tersebut berisi berita bohong atau hoaks terkait penangkapan 43 mahasiswa Papua di Surabaya. Salah satu hoaks tersebut mengungkapkan bahwa ada mahasiswa yang meninggal.
Konten yang dibangun di media sosial dan tersebar di antara warga Papua, lanjut Dedi, dapat membangun opini bahwa peristiwa penangkapan mahasiswa Papua adalah bentuk diskriminasi.
Padahal, Dedi memastikan bahwa penangkapan mahasiswa Papua di Surabaya itu sudah selesai secara hukum.
"Awal mulanya dari akun hoaks itu, akun-akun yang disebarkan ada yang bilang mahasiswa Papua meninggal dunia akibat kejadian tersebut, itu sudah kami stempel hoaks," tuturnya.
Baca juga: Khofifah, Risma hingga Wali Kota Malang Minta Maaf soal Pemicu Kerusuhan di Manokwari Papua
Awalnya, polisi menerima laporan mengenai perusakan bendera merah putih di asrama mahasiswa Papua. Kemudian polisi memeriksa beberapa mahasiswa yang tinggal di asrama.
Karena tidak menemukan unsur pidana, kepolisian pun melepaskan mereka kembali. Proses itu merupakan proses yang wajar dalam hukum.
Menurut Dedi, polisi mengevakuasi mahasiswa Papua tersebut untuk menghindari bentrok dengan masyarakat.
"Itu kami mengevakuasi untuk menghindari bentrok fisik antara masyarakat setempat dengan teman-teman mahasiswa Papua. Awalnya kan memang terjadi perusakan terhadap bendera merah putih, itu provokasi awal sehingga masyarakat setempat melakukan pengepungan," tutur Dedi.