PUTUSAN Mahkmah Konstitusi (MK) yang menolak seluruh permohonan dari kubu Prabowo-Sandi dalam sengketa perselisihan hasil suara Pilpres merupakan klimaks dari pertarungan legitimasi penyelenggaraan pilpres.
Di dalam dimensi legal, sengketa pilpres di MK merupakan final dari penyelesaian berbagai sengkarut selama pemilu 2019. Maka, puas atau tidak puas, suka atau tidak suka, putusan MK harus diterima. Sebuah koridor akhir di iklim demokrasi dalam konteks kontestasi memilih presiden.
Hal di atas merupakan konsekuensi dianutnya negara hukum demokratis (Pasal 1 ayat (2) dan (3) UUD 1945) dan keberadaan MK sebagai pengawal konstitusi (the guardians of constitutions) yang tercermin pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenangnya yang bersumber dari Pasal 24 C UUD 1945. Dengan begitu, eksistensi reformasi ketatanegaraan melembaga di dalam tubuh UUD 1945.
Tentu, agenda berikutnya adalah bagaimana melakukan rekonsiliasi sekaligus relaksasi kesitegangan yang selama ini menggerayangi sekujur tubuh pemilu.
Tidak dapat disangkal, pemilu telah usai, tinggal mengisi lembaran pasca-pemilu. Apalagi, bila mengikuti pola pikir filsuf Zizek, pemilu itu hanya cara menempati ruang atau tempat kosong. Bersifat temporal.
Yang seharusnya diisi rakyat namun karena keterbatasan, rakyat memilih representasinya menduduki ruang atau tempat kosong---yang dalam tradisi Indonesia---perlima tahun ruang kosong itu diisi kuasa lalu ditinjau ulang.
Maka, enerji yang terlalu dikuras sebatas pemilu tentu memakan ongkos terlalu mahal. Bila, selepas pemilu tidak ada upaya melembagakan demokrasi secara lebih berkualitas. Tulisan ini akan membincang skenario pasca-putusan MK di atas.
Bagi penulis, sejarah demokrasi pasca-reformasi adalah soal narasi, mitos dan konsep absurdnya demokrasi. Atau sihir mimpi-mimpi rakyat berdaulat.
Kisah yang sesungguhnya, demokrasi menyangkut perebutan antar-elite atau pihak-pihak yang memiliki otoritas untuk berbagi diantara mereka. Literatur menyebutnya oligarki.
Tentu kisah oligarki ini selalu ada modifikasi dari satu rezim pemerintah ke pemerintah lain. Namun esensinya tetap. Defisitnya substansi demokrasi.
Tragedi awal demokrasi dimulai dari dibajaknya ruang publik. Hannah Arendt memaknai ruang publik dalam dua pengertian yakni “ruang penampakan” dan “dunia bersama”.
Ruang penampakan adalah “segala sesuatu yang tampak di publik, dapat dilihat dan dapat didengar oleh siapapun dan berpeluang untuk terpublikasikan seluas-luasnya”.
Sedangkan ruang publik sebagai dunia bersama yaitu dunia yang kita pahami bersama, hidupi bersama, yang berbeda dengan ruang privat (Eddie Sius Riyadi, 2008:10-11).
Pembajakan ruang publik dapat terjadi dalam tiga kondisi. Pertama, apabila tidak ada pembedaan dan kriteria jelas tentang yang publik dan yang privat.
Jika media cetak dan elektronik dikuasai segelintir elite korporasi lalu frekuensi publiknya dikapitalisasi dan didominasi sebesar-besarnya untuk mewartakan kepentingan elit pemilik korporasi media tersebut maka ruang publik nyata dibajak.