KABAR duka begitu menyentak jam 7 pagi tadi. Bob Sugeng Hadiwinata, dosen idola di Hubungan Internasional Universitas Parahyangan, meninggal dunia.
Di tengah rasa sedih yang tiba-tiba menyeruak, ingatan saya terbawa mundur jauh di suatu kelas di kampus Unpar di tahun 1993. Mas Bob, begitu ia biasa disapa, tengah bercerita di depan kelas.
Alkisah di suatu pesta, tutur Mas Bob, tamu-tamu berdatangan dengan membawa penganan kesukaan masing-masing, karena memang itu yang tertera dalam aturan undangan. BYO, Bring Your Own. Pesta ala gotong royong, sumbangan ramai-ramai untuk persaudaraan dan kebersamaan.
Tamu-tamu membawa masing-masing gelas bir untuk dituangkan di gentong besar dan dinikmati bersama.
Namun, di tengah-tengah pesta, ada orang-orang yang datang dengan gelas yang hanya diisi oleh air putih biasa. Niatnya hanya satu: numpang bersenang tanpa ikuti aturan dan enggan menyumbang.
Orang-orang inilah yang sering diistilahkan "free rider", penumpang gelap. Kata Mas Bob kemudian, "Dalam dunia politik, selalu saja ada orang-orang yang menunggangi keadaan demi kepentingannya."
Ya, analogi itu pertama saya dengar di ruang kelas Mas Bob di mata kuliah Masalah Negara Berkembang.
Mas Bob menjelaskan dengan gaya yang khas, baju tangan panjang yang tergulung sambil sesekali membetulkan letak kacamatanya yang sebetulnya tidak terlihat miring.
Mas Bob memang dosen idola. Kuliahnya memesona. Selalu trampil untuk membuat hal rumit jadi sederhana.
Teori-teori canggih dalam Hubungan Internasional yang sering buat mahasiswa pusing, jadi terdengar mengasyikkan.
Mas Bob sangat hafal tidak saja lika-liku pemikiran para filsuf dan teoritisi HI, tapi bahkan juga hingga sisi unik dari pribadi para tokoh tersebut. Mas Bob begitu total dan masuk ke dalam dunia ilmu dengan caranya.
Cerita Mas Bob tentang Herbert Feith, seorang Indonesianis bersahaja dan dosen beliau di Monash University di Melbourne, lah yang membawa saya "merantau" ke kampus yang sama untuk studi pascasarjana tahun 1997.
Adalah Mas Bob, yang pada tahun 1990-an tampil di berbagai media cetak dengan pemikiran dan tafsirnya atas teori "Post-Modernism" yang sedang hits saat itu.
Mas Bob menulis di mingguan Tempo dalam artikel berjudul "Pasca-modernisme nya Kang Prasojo".
Artikel ini top, menurut saya. Mas Bob dengan santai beragumen bahwa sejatinya post-modernism yang disebut-sebut para pemikir dunia sebagai dekonstruksi teori-teori mapan di jagat ilmu sesungguhnya sudah lama dipraktikkan rakyat jelata di Jawa.