JAKARTA, KOMPAS.com - Kepolisian RI kembali mengingatkan kelompok masyarakat yang mengungkapkan aspirasi melalui aksi unjuk rasa agar mengikuti ketentuan dan prosedur yang berlaku.
Kepala Divisi Humas Polri Irjen (Pol) Setyo Wasisto mengatakan, kegiatan penyampaian pendapat di muka umum wajib memberitahukan secara tertulis kepada kepolisian seperti diatur dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998.
Hal ini disampaikannya merespons bentrok yang terjadi saat aksi kelompok yang pro dan kontra Presiden Joko Widodo, di depan Gedung DPRD Sumatera Utara, Kamis (20/9/2018) kemarin.
“Prinsipnya kalau dia mau berbuat rusuh ya harus dicegah dari awal. Ketika menyampaikan aspirasi ada aturan nya ada beberapa pointers yang harus diikuti. Kalau itu tidak diikuti, Polri berhak membubarkan,” kata Setyo kepada Kompas.com, Jumat (21/9/2018).
Setyo mengatakan, Polri bisa mendeteksi apakah suatu aksi akan berlangsung aman atau diarahkan untuk terjadi anarkistis. Jika berujung pada anarkistis, Polri berhak untuk membubarkan kegiatan tersebut.
“Kalau mau anarkistis, Polri berhak untuk membubarkan dengan protap-protap (prosedur tetap) yang sudah ada mulai dari negosiasi,” kata Setyo.
“Tanpa senjata, menggunakan tongkat sampai dengan penembakan peluru karet. Kalau sudah anarkistis ya harus ditindak,” sambung Setyo.
Ia menegaskan, Polri netral dan tidak memiliki pretensi dalam menindak setiap aksi massa.
“Saya nyatakan Polri netral dan akan menindak tegas kelompok atau orang-orang yang mau rusuh,” ujar Setyo.
Diberitakan sebelumnya, aksi massa dari dua kubu berbeda, yaitu yang pro dan kontra terkait kepemimpinan Presiden RI Joko Widodo, terlibat bentrok di berapa daerah.
Misalnya bentrokan kubu yang pro dan kontra terkait kepemimpinan Presiden RI Joko Widodo yang memanas di kantor DPRD Sumut, Kamis (20/9/2018).
Kedua massa bertemu saat menggelar unjuk rasa secara berbarengan di depan Kantor DPRD Sumut.
Keduanya adalah massa dari Aliansi Pergerakan Mahasiswa se-Kota Medan serta Kelompok Masyarakat Pecinta NKRI.