JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar Hukum Tata Negara Zainal Arifin Mochtar menilai, polemik terkait dilarang atau tidaknya eks koruptor menjadi calon anggota legislatif merupakan masalah anomali dan antinomi hukum.
UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu memang tidak melarang mantan narapidana korupsi untuk mendaftar sebagai caleg.
Namun, menurut Zainal, bukan berarti hal itu dibolehkan. Sebab, hukum juga bicara soal keadilan dan kebermanfaatan.
"Jadi menurut saya nggak boleh berpikir bahwa hanya karena tidak ada di Undang-undang jadi tidak bisa diatur. Karena hukum itu bukan cuma soal kepastian apa yang ditulis di UU, tapi kita juga bicara tentang keadilan dan kemanfaatan dari sebuah UU," kata Zainal kepada Kompas.com, Jumat (31/8/2018).
Baca juga: Bawaslu Loloskan Dua Bakal Caleg Eks Koruptor, Total Ada Lima Orang
Zainal menjelaskan, hukum memiliki perangkat nilai, ada pula etika pemerintahan. Hal ini tidak bisa diabaikan begitu saja meski UU Pemilu tak memuat larangan eks koruptor maju sebagai caleg.
"Ada perangkat nilai, ada yang namanya etika, ada yang namanya etika pemerintahan. Itu semua dipakai ketika membentuk aturan lebih lanjut," terang dia.
Baca juga: ICW: Bawaslu Arogan Loloskan Mantan Koruptor Jadi Bakal Caleg
Lagipula, Peraturan KPU No. 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan yang melarang mantan koruptor menjadi caleg, menurut Zainal, memiliki nilai keadilan dan kebermanfaatan. Sebab, tindak pidana korupsi merusak kepercayaan publik.
"Bagaimana mungkin orang yang sudah merusak kepercayaan publik dikasih lagi jabatan publik?" ujar Zainal.
Menurut Zainal, seharusnya Bawaslu berpandangan lebih luas bahwa PKPU tersebut adalah upaya pemberantasan korupsi.
"Harusnya Bawaslu melihat jauh lebih lebar bahwa ini demi pemberantasan korupsi," tandasnya.
Baca juga: Loloskan Caleg Eks Koruptor, Bawaslu Dianggap Menikam Masyarakat
Bawaslu sebelumnya meloloskan lima orang mantan koruptor menjadi bakal caleg 2019. Mereka berasal dari Aceh, Toraja Utara, Sulawesi Utara, Pare-Pare, Rembang, dan Bulukumba.
Pada masa pendaftaran bacaleg, lima orang mantan koruptor tersebut dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) oleh KPU.
Kelimanya lantas mengajukan sengketa pendaftaran ke Bawaslu dan Panwaslu setempat. Hasil sengketa menyatakan ketiganya memenuhi syarat (MS).
Bawaslu meloloskan mantan napi korupsi sebagai bacaleg lantaran mereka mengklaim berpedoman pada UU Pemilu, bukannya pada PKPU nomor 20 tahun 2018.
Dalam UU Pemilu, mantan narapidana korupsi tidak dilarang untuk menjadi caleg.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.