JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkritik keputusan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang meloloskan lima mantan koruptor sebagai bakal calon legislatif (bacaleg) 2019.
Bawaslu meloloskan mereka berpedoman pada Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, bukannya pada Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 yang melarang eks koruptor maju sebagai caleg.
Peneliti Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Almas Sjafrina menyebut, Bawaslu semena-semena dengan mengingkari keabsahan hukum.
Baca juga: Bawaslu Loloskan Dua Bakal Caleg Eks Koruptor, Total Ada Lima Orang
"Di sini kan sudah terlihat ada arogansi dari penyelenggara pemilu, dalam hal ini Bawaslu yang secara terang benderang tidak mengakui keabsahan PKPU," tutur Almas di Kantor ICW, Jakarta Selatan, Kamis (30/8/2018).
"Padahal PKPU diakui keberadaannya, diakui kekuatan hukumnya oleh Undang-undang Pembentukkan Peraturan Perundang-undangan Nomor 12 Tahun 2011," sambung dia.
Almas menyebutkan, perbedaan pandangan antara KPU dan Bawaslu menyulitkan posisi kedua penyelenggara pemilu tersebut.
Baca juga: Bawaslu Diminta Koreksi Keputusan Loloskan Bakal Caleg Eks Koruptor
Sebab, jika KPU tidak melaksanakan keputusan Bawaslu tersebut, mereka terancam dilaporkan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Oleh sebab itu, ICW mengharapkan Bawaslu RI dapat mengoreksi keputusan Bawaslu di daerah.
"Kita seharusnya satu suara, satu aksi, untuk menutup peluang orang-orang bermasalah untuk menduduki jabatan penting melalui kontestasi pemilu," tuturnya.
Baca juga: KPU Tunda Pelaksanaan Keputusan Bawaslu yang Loloskan Dua Bacaleg Eks Koruptor
Bawaslu meloloskan lima eks koruptor sebagai bakal caleg. Mereka berasal dari Rembang, Pare-Pare, Aceh, Tana Toraja, dan Sulawesi Utara.
Pada masa pendaftaran bacaleg, mereka dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) oleh KPU. Kelimanya lantas mengajukan sengketa pendaftaran ke Bawaslu dan Panwaslu setempat.
Hasil sengketa menyatakan ketiganya memenuhi syarat (MS). Keputusan Bawaslu meloloskan mantan napi korupsi sebagai bacaleg lantaran mereka mengklaim berpedoman pada Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, bukannya pada PKPU nomor 20 tahun 2018.
Dalam UU Pemilu, mantan narapidana korupsi tidak dilarang untuk menjadi caleg.
PKPU tersebut sudah diajukan uji materi ke Mahkamah Agung oleh para mantan koruptor yang ingin menjadi wakil rakyat.
Namun, MA menghentikan sementara proses uji materi karena ada judicial review UU Pemilu terhadap UUD di Mahkamah Konstitusi.
Lantaran belum ada putusan uji materi di MA, KPU menunda pelaksaan putusan Bawaslu tersebut.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.