JAKARTA, KOMPAS.com - Terdakwa mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung merasa tidak ada laporan tentang misrepresentasi yang dilakukan Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Tahun 2004.
Hal itu dikatakan Syafruddin saat menjalani sidang pemeriksaan terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (23/8/2018).
Awalnya, jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menanyakan, apakah Syafruddin pernah menerima laporan dari tim bantuan hukum (TBH) pada 29 Mei 2002.
Baca juga: Sidang BLBI, Menurut Ahli BPK Sjamsul Nursalim Cedera Janji
Syafruddin mengakui pernah menerima laporan kajian TBH terkait penyelesaian kewajiban pemegang saham Sjamsul Nursalim.
Namun, menurut dia, tidak ada laporan TBH bahwa Sjamsul telah melakukan misrepresentasi dalam menampilkan utang para petambak udang.
"Tidak ada. Di rekomendasi tidak ada (misrepresentasi). Kalau di dalam kajian bisa saja disebut ini ada yang sudah selesai, ini ada yang belum," ujar Syafruddin.
Baca juga: BPK Temukan 4 Penyimpangan Pemberian SKL BLBI kepada Sjamsul Nursalim
Menurut Syafruddin, laporan TBH tertuang dalam dokumen yang cukup tebal. Laporan itu sebenarnya ditujukan kepada Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK).
Syafruddin mengaku tidak membaca secara lengkap dokumen tersebut.
"Itu kan laporan tebal. Ada kajian LGS dan TBH. Kalau ditanya apa kami baca, ya tidak. Kami baca rekomendasinya saja," kata Syafruddin.
Dalam persidangan sebelumnya, diketahui bahwa firma hukum LGS diminta oleh BPPN untuk melakukan kajian hukum terhadap salah satu obligor BLBI, yakni BDNI dan Sjamsul Nursalim.
Selain mengkaji, tim LGS juga diminta untuk membuat suatu pendapat hukum atas perjanjian Master Settlement Aqcuisition Agreement (MSAA).
Baca juga: Otto Hasibuan: Bagi Saya Sjamsul Nursalim Tidak Butuh SKL BLBI
MSAA merupakan perjanjian penyelesaian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan jaminan aset obligor.
Laporan kajian hukum dan pendapat hukum dua kali dikeluarkan, yakni pada tahun 2000 dan 14 Maret 2002.
Dalam dua laporan itu, diketahui bahwa Sjamsul belum memenuhi perjanjian MSAA.
Pertama, Sjamsul tidak mengungkap bahwa utang petambak kepada BDNI sebesar Rp 4,8 triliun sebenarnya dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (PT DCD) dan PT Wachyuni Mandira (PT WM).
Kedua perusahaan penjamin itu adalah perusahaan milik Sjamsul Nursalim.
Selain itu, tim bantuan hukum menemukan bahwa utang petani tambak kepada BDNI tergolong sebagai kredit macet dan tidak bisa ditagih.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.