JAKARTA, KOMPAS.com - “Berulang kali saya menumpahkan air mata di atas bendera yang sedang saya jahit itu,” kenang Fatmawati, istri Proklamator RI Soekarno.
Kenangan Fatmawati itu tercatat dalam buku berjudul "Berkibarlah Benderaku, Tradisi Pengibaran Bendera Pusaka" karya Bondan Winarno (2003).
Ungkapan tersebut dikarenakan Fatmawati sedang hamil tua dan sudah bulannya untuk melahirkan Guntur Soekarnoputra, putra sulung pasangan Bung Karno dan Fatmawati.
“Menjelang kelahiran Guntur, ketika usia kandungan telah mencukupi bulannya, saya paksakan diri menjahit bendera Merah Putih,” kata Fatmawati.
Baca juga: Bung Karno: Biar Adis Saja yang Mengibarkan Bendera...
Ia menghabiskan waktunya menjahit bendera besar itu di ruang makan dengan kondisi fisik yang cukup rentan.
“Jadi saya jahit berangsur-angsur dengan mesin jahit Singer yang dijalankan dengan tangan saja. Sebab dokter melarang saya menggunakan kaki untuk menggerakkan mesin jahit,” katanya.
Fatmawati baru menyelesaikan jahitan bendera Merah Putih itu dalam waktu dua hari.
Baca juga: Tim Nusa Terpilih Kibarkan Bendera Merah Putih di Istana, Ini Profilnya...
Bendera Merah Putih berukuran 2x3 meter yang akan dikibarkan pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta, itu menjadi Bendera Pusaka hingga saat ini.
Awal Mula
Fatmawati menjahit Bendera Pusaka usai dirinya dan keluarga kembali dari pengasingan di Bengkulu dan tinggal di Jakarta.
Keberadaan Bendera Pusaka itu berawal dari rencana seorang perwira Jepang bernama Shimizu untuk memenuhi "janji kemerdekaan" dari Jepang bagi Indonesia.
Ia merupakan Kepala Bagian Propaganda Gunseikanbu atau pemerintah militer Jepang di Jawa dan Sumatera.
Baca juga: Laksamana Maeda: Nasib Saya Tidak Penting, yang Penting Kemerdekaan Indonesia
Shimizu memosisikan diri sebagai orang yang pro-Indonesia. Sikap pro-Indonesia Shimizu merupakan skenario yang ia mainkan sebagai kepala barisan propaganda.
Pasalnya, sejak awal 1943, kejayaan Jepang perlahan akan runtuh akibat tekanan dari Amerika Serikat dan sekutunya. Jepang memainkan politik "saudara tua" dengan Indonesia.
Sebagai "saudara tua", Jepang berjanji mengizinkan para pemimpin Indonesia memproklamasikan kemerdekaan.
Baca juga: Siulan Rahasia Bung Karno dan Kecurigaan Belanda di Kota Ende