JAKARTA, KOMPAS.com - Petambak udang yang bekerja sama dengan PT Dipasena Citra Darmadja (PT DCD) dan PT Wachyuni Mandira (PT WM) dihadirkan dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (26/7/2018).
Kelima petambak itu bersaksi untuk terdakwa mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung.
Baca juga: Petambak Udang Dipasena Sewa Brangkas untuk Simpan Sertifikat Tambak
Dalam persidangan, para petambak mengaku diperas oleh PT DCD dan PT WM. Kedua perusahaan itu milik Sjamsul Nursalim, pengusaha yang juga pemilik saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).
"Kami dijadikan seperti sapi perah dan bebek petelur," ujar Towilun, salah satu petambak udang.
Menurut Towilun, awalnya pada 1995 dia ditawarkan kerja sama oleh PT DCD. Namun, saat perjanjian kerja sama dilakukan, para petambak dikumpulkan dalam suatu ruangan.
Baca juga: Saksi Akui Audit BPK soal BPPN Tahun 2006 Tak Sampai Meneliti Utang Petambak
Para petambak diminta menandatangani perjanjian kerja sama tanpa diperbolehkan oleh pihak DCD untuk membaca surat perjanjian. Hal serupa juga terjadi saat petambak diminta menandatangani akta kredit.
Menurut Towilun, petambak dijanjikan kredit Rp 135 juta. Dalam pengarahan, petambak diberi tahu bahwa petambak dapat melunasi utang setelah bekerja selama 6-8 tahun dan setelah itu tambak dapat menjadi hak milik petani.
"Yang Rp 90 juta investasi perlengkapan budidaya. Yang Rp 45 juta buat modal kerja, beli pakan, beli telur dan kebutuhan hidup," kata Towilun.
Baca juga: Saksi Akui Kepala BPPN Instruksikan Agar Utang Petambak Tak Dibebankan ke Sjamsul Nursalim
Faktanya, setiap petambak tidak diberikan uang tunai Rp 135 juta. Dipasena memberikan secara bertahap berupa modal kerja dan investasi perlengkapan.
Setelah itu, menurut Towilun, petambak tidak pernah diberi tahu sampai kapan utangnya akan lunas. Petambak hanya diminta menyerahkan seluruh hasil tambak udang untuk dijual oleh PT DCD.
"Setelah udang panen, harus diserahkan pada perusahaan. Kami tidak menerima duit, hanya dokumen kertas," kata Towilun.
Baca juga: Hasil Kajian Akuntan Publik, Piutang BDNI kepada Petambak Tergolong Macet
Menurut Towilun, harga penjualan udang oleh PT DCD paling rendah mencapai Rp 181 juta dalam sekali panen. Namun, harga beli dari petambak jauh lebih murah.
Selain itu, perusahaan tidak pernah menjelaskan posisi utang para petambak. Menurut Towilun, apabila hal itu ditanyakan, petambak justru akan mendapat intimidasi dari pihak perusahaan.
Dalam persidangan, para petambak lainnya, yakni Lasim, Tugiyo dan Yusuf membenarkan apa yang dikatakan oleh Towilun.