JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun usul agar ke depan produk peraturan perundang-undangan di tingkat menteri ditiadakan.
Sebab, ia menganggap, "penyanderaan" Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang melarang mantan narapidana kasus korupsi ikut Pileg 2019 adalah imbas peraturan tersebut.
"Sehingga kasus PKPU yang tak juga diundangkan oleh Kemenkumham itu bisa dihindari," ujar Refly dihubungi Kompas.com, Rabu (13/6/2018).
Menurut Refly, ke depan semua peraturan perundang-undangan di tingkat menteri yang sifatnya untuk eksternal harus diterbitkan melalui peraturan presiden (perpres).
Baca juga: Refly: Kemenkumham Tak Perlu Ikut Campur Substansi PKPU Larangan Eks Koruptor Nyaleg
"Ke depan cukup perpres, sehingga semuanya terkontrol dan tidak masing-masing, sektoral," ujar Refly.
"Supaya presiden tanggung jawab, itu merampingkan regulasi kita," tambah Refly.
Kata Refly, jika tak ditiadakan, ia usul agar peraturan menteri tersebut sifatnya hanya untuk internal dan bukan eksternal.
"Jadi karena peraturan internal, dia tidak bisa mengikat pihak luar, di dalam saja," kata Refly.
Namun Refly memberi pengecualian, lembaga-lembaga pemerintah yang independen tetap diberikan kewenangan untuk membuat aturan yang sifatnya mengikat eksternal.
"Kalau peraturan lembaga independen, Komisi Pemilihan Umum, Komisi Penyiaran Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi itu silakan buat aturan sendiri," terang Refly.
Sebelumnya, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Viryan menyebut Kementerian Hukum dan HAM melampaui kewenangannya karena enggan segera mengundangkan Peraturan KPU ( PKPU) soal larangan mantan narapidana kasus korupsi ikut Pileg 2019.
Alasannya, Kemenkumham mengambil kewenangan lembaga lainnya yang berhak mengoreksi substansi suatu peraturan perundang-undangan itu apakah sesuai atau tidak dengan Undang-Undang yang lebih tinggi.
Baca juga: Tolak PKPU Larangan Eks Koruptor Nyaleg, Kemenkumham Dinilai Inkonsisten
"Jadi Kemenkumham tidak bisa lakukan demikian. Kemenkumham sudah ambil porsi dari Mahkamah Agung. Abuse of power, lampaui kewenangan," kata Viryan di kantor KPU RI, Jakarta, Selasa (12/6/2018).
Menurut Viryan, dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah jelas diatur, bahwa kewenangan untuk mengoreksi substansi suatu peraturan perundang-undangan itu adalah ranah Mahkamah Agung.
Aturan itu tertulis pada pada pasal 9 ayat 2 UU tersebut. Bunyinya adalah dalam hal suatu peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.