JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Pansus revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (RUU Antiterorisme) Muhammad Syafi'i menuturkan bahwa pihaknya ingin agar definisi terorisme dalam draf RUU diatur secara ketat.
Hal itu bertujuan untuk menghindari subyektivitas aparat penegak hukum dalam menetapkan seseorang itu benar-benar terlibat jaringan teroris atau tidak.
"Kami kan tidak ingin kembali terjadi era subversif karena tidak ada batasan yang valid, bisa ditarik sana sini," Syafi'i di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (21/5/2018).
Baca juga: Definisi Terorisme Dinilai Harus Tercantum dalam Batang Tubuh RUU Antiterorisme
"Akhirnya yang menetapkan seseorang itu teroris atau bukan, itu bukan hukum, tapi subyektivitas aparat di lapangan. Pasti itu sangat tidak kita inginkan," tuturnya.
Menurut Syafi'i, dalam proses pembahasan, pansus ingin definisi terorisme diperketat.
Artinya, suatu tindak kejahatan bisa dikategorikan sebagai tindak pidana terorisme jika memiliki unsur mengganggu keamanan negara dan memiliki tujuan politik.
"Kami ingin ketat bahwa dalam definisi terorisme selain ada tindak kejahatan, ada ketakutan massif, bisa menimbulkam korban dan bisa merusak obyek vital dan strategis, harus ada unsur mengganggu keamanan negara dan punya tujuan politik," kata Syafi'i.
Baca juga: ICJR Minta Pengesahan RUU Antiterorisme Tak Cederai Kebebasan Sipil
Sebelumnya, pemerintah dan DPR telah sepakat untuk memasukkan frasa motif politik, ideologi dan mengancam keamanan negara dalam definisi terorisme.
Artinya, suatu tindak pidana bisa dikategorikan sebagai kejahatan terorisme apabila pelaku memiliki tujuan politik, berdasarkan ideologi tertentu dan mengancam keamanan negara.
Namun, pemerintah dan DPR belum sepakat soal letak definisi terorisme dalam RUU Antiterorisme, apakah akan diatur dalam bagian penjelasan umum atau batang tubuh.
Baca juga: Sekjen PPP Klaim Fraksi Partai Koalisi Satu Suara soal RUU Antiterorisme
Anggota Pansus RUU Antiterorisme Arsul Sani mengungkapkan bahwa pihak Polri keberatan jika ada frasa motif ideologi serta politik dalam definisi terorisme dan dicantumkan dalam batang tubuh undang-undang.
Polri khawatir pasal tersebut nantinya akan dimanfaatkan pihak kuasa hukum terduga teroris.
Mereka dapat berkilah kliennya tidak dapat dijerat dengan UU Antiterorisme karena tidak memiliki motif politik atau ideologi saat melakukan aksinya.
Baca juga: Pendekatan HAM Diharapkan Jadi Pertimbangan dalam RUU Antiterorisme
Meski demikian, setelah pertemuan antara Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto dan sejumlah sekjen partai pendukung pemerintah, disepakati adanya alternatif terkait ketentuan definisi.
Partai pendukung pemerintah, kata Arsul, tidak keberatan jika nantinya definisi tetap mencantumkan frasa motif ideologi dan politik dalam definisi.
Baca juga: Pendekatan HAM Diharapkan Jadi Pertimbangan dalam RUU Antiterorisme
Namun ketentuan tersebut tidak diletakkan dalam batang tubuh, melainkan dalam bagian penjelasan umum.
"Maka kesepakatan yang ada, alternatif yang ada itu tidak dimasukan dalam batang tubuh tapi itu diletakkan dalam penjelasan umum. Itu menunjukan agar peristiwa teroris itu ya pasti ada persoalan ideologi dan motif politik," kata politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu.
"Agar tidak mengganggu dan mempersulit itu tidak ditaruh di pasal. Ini bentuk aspirasi dari masyarakat agar tidak mudah semua perbuatan dikenakan UU Antiterorisme," ucapnya.