JAKARTA, KOMPAS.com - Pengacara terdakwa mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung menyampaikan nota keberatan atau eksepsi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (21/5/2018).
Dalam eksepsi, pengacara Syafruddin menilai bahwa kerugian negara Rp 4,5 triliun yang dilaporkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) diperoleh atas audit investigasi yang tidak sesuai prosedur.
"Laporan audit investigatif BPK pada 25 Agustus 2017 tidak memenuhi standar pemeriksaan keuangan," ujar pengacara Syafruddin, Ahmad Yani, saat membacakan eksepsi.
Menurut Ahmad Yani, audit atas permintaan Komisi Pemberantasan Kourpsi (KPK) itu tidak sesuai dengan Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2017. Sebab, menurut Ahmad Yani, audit BPK tidak melibatkan pihak BPPN seperti ketua, wakil ketua maupun anggota.
Baca juga: Bantah Rugikan Negara dalam BLBI, Mantan Kepala BPPN Ajukan Eksepsi
Dengan kata lain, menurut Ahmad Yani, dalam pemeriksaan BPK tidak melibatkan terperiksa atau pihak yang bertanggung jawab dari BPPN.
Padahal, dalam audit BPK tahun 2002 dan 2006, pihak terperiksa diberikan kesempatan untuk memberikan tanggapan.
Menurut Ahmad Yani, pada audit tahun 2017, BPK membuat kesimpulan menggunakan data sekunder, bukan data primer dari sumber langsung yang diperiksa.
"Tidak ada yang diperiksa, maka bagaimana pemeriksa BPK dapat independen, obyektif, dan profesional meneliti bukti permulaan?" kata Ahmad Yani.
Sebelumnya, Syafruddin didakwa merugikan negara sekitar Rp 4,5 triliun terkait penerbitan SKL BLBI.
Baca juga: Syafruddin Temenggung Klaim yang Dilakukannya di BPPN Sesuai Aturan
Menurut jaksa, perbuatan Syafruddin telah memperkaya Sjamsul Nursalim, selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) tahun 2004. Keuntungan yang diperoleh Sjamsul dinilai sebagai kerugian negara.
Menurut jaksa, Syafruddin selaku Kepala BPPN diduga melakukan penghapusan piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (PT DCD) dan PT Wachyuni Mandira (PT WM). Selain itu, Syafruddin disebut telah menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham.
Padahal, menurut jaksa, Sjamsul Nursalim belum menyelesaikan kewajibannya terhadap kesalahan dalam menampilkan piutang BDNI kepada petambak, yang akan diserahkan kepada BPPN. Kesalahan itu membuat seolah-olah sebagai piutang yang lancar (misrepresentasi).