JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Ketua Pusat Pelaporan Transaksi dan Analisis Keuangan (PPATK) Yunus Husein mengungkapkan, transparansi merupakan sebuah kebutuhan sekaligus tren yang menguat di berbagai negara.
Yunus menjelaskan, beberapa negara anggota G20 telah mendorong transparansi pemilik manfaat di korporasi (beneficial owner).
"Di Inggris aturannya cukup baik, mereka bisa melacak siapa pengendali korporasi dan (informasinya) terbuka untuk umum. Ini memang kebutuhan dari praktik di banyak negara," kata Yunus dalam paparannya di Hotel Grand Mercure, Jakarta, Selasa (27/3/2018).
(Baca juga: PPATK Ungkap Tiga Tujuan Transparansi Informasi Pemilik Manfaat, Apa Saja?)
Yunus mengungkapkan, berbagai modus pencucian uang juga marak terjadi di Indonesia. Ia memaparkan, ada sejumlah koruptor yang melakukan pencucian uang melalui pengendalian korporasi secara tersembunyi.
"Ketika dicari namanya tidak muncul. Dan dia menyuruh orang-orang lain yang mengendalikan perusahaan itu. Ada pula usaha yang sah, disalahgunakan untuk pencucian uang, jadi modusnya banyak sekali," ungkapnya.
Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa transparansi pemilik manfaat bisa menjamin adanya tanggung jawab dari pengendali korporasi jika tersangkut dengan tindak pidana pencucian uang. Melalui transparansi itu, aparat hukum bisa melacak dan mengawasi adanya dugaan pencucian uang.
"Kita lihat transparansi bukan hanya identitas orang yang bertransaksi, tapi tujuan, sumber dana. Manfaatnya bukan saja untuk melindungi pemilik tapi juga kepastian hukum dan recovery asset lebih optimal," katanya.
(Baca juga: Begini Kesulitan KPK Melacak Aset di Kasus E-KTP)
Yunus memaparkan, Indonesia masih memiliki kekurangan dalam implementasi transparansi pemilik manfaat, seperti tidak adanya sistem informasi terkait para pengendali perusahaan.
Ia berharap melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenai Pemilik Manfaat atas Korporasi dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme bisa memperkuat upaya pemberantasan pencucian uang.
"Peraturan ini diharapkan bisa dilaksanakan secara tertib, bukan hanya dibuat saja sehinggak tak berjalan secara efektif. Itu yang tidak kita inginkan," ujarnya.
Sebelumnya Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin mengungkapkan, berbagai kejahatan yang dilakukan oleh orang perseorangan ataupun korporasi dalam batas wilayah suatu negara ataupun melintasi batas wilayah negara lain semakin meningkat.
"Kejahatan tersebut antara Iain berupa tindak pidana korupsi, penyuapan penyelundupan barang, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan imigran, perbankan, perdagangan gelap narkotika dan psikotropika, perdagangan wanita dan anak, perdagangan senjata gelap, pencucian, terorisme, dan berbagai kejahatan kerah putih Iainnya," ujar Kiagus di Hotel Grand Mercure, Jakarta, Selasa (27/3/2018).
(Baca juga: Saat Pimpinan KPK Jengkel terhadap Pengusaha yang Sembunyikan Aset untuk Hindari Pajak)
Kiagus menilai, kejahatan-kejahatan tersebut telah melibatkan dan menghasilkan harta kekayaan yang sangat besar. Korporasi, kata dia, kerap kali digunakan pelaku tindak pidana untuk menyembunyikan dan menyamarkan identitas pelaku dan hasil tindak pidana.
"Korporasi ini dimanfaatkan pelaku tindak pidana sebagai kendaraan atau media pencucian uang," katanya.
Kiagus juga mengungkapkan hasil penilaian risiko tahun 2015 atas potensi tindak pidana pencucian uang di Indonesia. Berdasarkan hasil tersebut, tingkat ancaman pidana pencucian uang oleh korporasi lebih tinggi dibandingkan dengan perorangan.
Oleh karena itu, Kiagus menyimpulkan bahwa Indonesia perlu segera melakukan penguatan pengaturan dan penerapan transparansi informasi pemilik manfaat dari korporasi melalui penguatan Perpes Nomor 30 Tahun 2018.