JAKARTA, KOMPAS.com - Tak mudah rasanya menjalani hidup tanpa adanya jaminan atas rasa aman. Sementara, peraturan perundang-undangan dan penegak hukum justru masih dinilai tidak berpihak pada pemenuhan hak korban.
Intan (22), seorang pegawai swasta, mengeluhkan minimnya jaminan perlindungan negara atas hidupnya sebagai perempuan. Ia menceritakan pengalamannya saat mendampingi seorang temannya yang mengalami kekerasan seksual.
Menurut Intan, saat membuat laporan, justru ia melihat aparat penegak hukum tidak menunjukkan keberpihakan terhadap temannya sebagai korban. Kasus serupa, kata Intan, juga terjadi pada kasus-kasus pemerkosaan yang pernah ia temui.
"Polisi malah tanya, 'kenapa pulang malam'. Pertanyaannya bukan bagaimana kejadiannya, apa yang dialami, pelakunya seperti apa ciri-cirinya. Tapi malah menyelidik korbannya. Kenapa keluar malam, kenapa kok sendirian," ujar Intan kepada Kompas.com, Jumat (2/2/2018).
(Baca juga: Perjuangan Korban Pemerkosaan Cari Keadilan, Merasa Dipingpong Polisi Saat Melapor)
Selain perspektif penegak hukum yang, menurut Intan, kerap tak berpihak pada korban, ia juga menilai peraturan perundang-undangan belum mengakomodasi kepentingan korban.
Ia mencontohkan tidak adanya pasal dalam KUHP yang mengatur apabila korbannya seorang perempuan difabel.
Lemahnya penegakan hukum terkait kasus kekerasan seksual, kata Intan, juga membuat korban enggan untuk melapor.
"Korban malah enggan melapor. Teman saya yang tunarungu malah melapor setelah usia kandungannya tujuh bulan setelah diperkosa oleh pamannya sendiri, karena ia takut," ucapnya.
"Memang sulit menjadi perempuan. Bukan sekedar sulit, tapi kami butuh aturan yang lebih melindungi perempuan. Itu hak yang harus dipenuhi terhadap perempuan, juga sebagai warga negara," kata Intan.
(Baca juga: Dalam Pasal Zina RKUHP, Korban Pemerkosaan Berpotensi Dipenjara Lima Tahun)
Kriminalisasi korban
Ketidakberpihakan terhadap perempuan korban kekerasan seksual semakin terlihat dalam draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang tengah dibahas di parlemen.
Dalam draf tersebut pasal mengenai tindak pidana kesusilaan diperluas.
Pasal 484 ayat (1) huruf e draf RKUHP hasil rapat antara pemerintah dan DPR per 10 Januari 2018 menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan.
Tindak pidana zina tersebut diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. Sementara dalam KUHP yang lama, zina bisa dipidana apabila pelaku telah terikat perkawinan dengan orang lain.