JAKARTA, KOMPAS.com - Tidak sedikit perwira aktif TNI dan Polri diusung oleh partai politik untuk maju dalam Pilkada Serentak 2018.
Hal tersebut dinilai berpotensi mencederai demokrasi dan supremasi sipil yang sudah dibangun sejak era reformasi.
"Fenomena ini mempertegas adanya kemundurnya demokrasi dan supremasi sipil," ujar Koordinator Kontras Yati Andriani dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (9/1/2018).
Yati menyebutkan, sejak reformasi 1998, keterlibatan TNI-Polri dalam politik ditarik dan supremasi sipil diperkuat.
Hal itu dipertegas dengan lahirnya UU TNI dan Polri yang melarang keterlibatan anggota aktifnya masuk ke dalam politik praktis.
(Baca juga: Mantan Kapolda Jabar Jadi Cawagub, Polisi Diinstruksikan Netral)
Namun kini partai politik yang dulu ikut memperjuangkan agar TNI-Polri tidak berpolitik dan memperkuat sipil, justru dianggap membuka pintu lebar keterlibatan anggota aktif kedua lembaga tersebut kembali ke politik.
Keterlibatan perwira aktif TNI-Polri ke politik dikhawatirkan akan menggoyahkan profesionalitas dan netralitas kedua jajaran kedua lembaga tersebut dalam gelaran Pemilu.
Di tempat yang sama, Direktur Imparsial Al Araf mendesak agar perwira TNI-Polri yang maju dalam kontestasi Pilkada 2018 segera mengundurkan diri.
Hal ini sangat penting agar tidak ada konflik kepentingan dengan mengerahkan jajaran TNI-Polri untuk berpihak kepada salah satu calon kepala daerah tertentu karena akan mencederai demokrasi.
"Saya minta seluruh kandidat yang belum mengundurkan diri dari TNI-Polri segera mengundurkan diri," kata dia.