JAKARTA, KOMPAS.com - Sejumlah anggota TNI-Polri akan maju dalam politik Pilkada Serentak 2018 di sejumlah daerah.
Menurut anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum RI (Bawaslu RI) Fritz Edward Siregar, potensi konflik di daerah yang diikuti calon dengan latar belakang TNI-Polri lebih besar.
Alasannya, ada persoalan netralitas dan dukungan terhadap mantan anggota kedua institusi tersebut.
Baca juga: Jenderal TNI-Polri Ikut Pilkada, Harus Serahkan Tiga Dokumen Ini
"Adanya kontestasi antara pihak-pihak ini menurut kami prosesnya harus dilihat secara hati-hati. Karena potensi konflik yang muncul itu pasti akan tinggi sekali di daerah-daerah di mana ada anggota TNI-Polri yang akan maju sebagai calon kepala daerah," kata Fritz, di Jakarta, Rabu (27/12/2017).
"Dia masih punya mantan anak buah, dia masih punya hubungan dengan pengusaha, dia masih punya hubungan dengan pimpinan daerah lainnya, sehingga ketidaknetralan itu kemungkinan bakal terjadi," kata Fritz.
Baca: Jenderal TNI-Polri Ikut Pilkada, Bawaslu Imbau Tak Ada yang Curi Start
Oleh karena itu, untuk mengantisipasi hal tersebut, Bawaslu tengah menggodok peraturan yang khusus mengatur rambu-rambu pencalonan dari TNI-Polri. Regulasi ini ditargetkan selesai pada pertengahan Januari 2018.
"Kemudian, kami sedang menjajaki pertemuan dengan Panglima TNI. Selama ini kan kita fokus (berkomunikasi) dengan Kapolri, misalnya soal Sentra Gakumdu bersama Kejaksaan," kata Fritz.
"Kami harus berhubungan dengan Panglima TNI karena kami akan meminta bantuan POM (Polisi Militer)," kata dia.
Beberapa jenderal akan maju Pilkada 2018 dengan diusung sejumlah partai politik.
Sementara, dari unsur TNI, Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat TNI Letjen Edy Rahmayadi akan ikut berkontestasi pada Pilkada Sumatera Utara.