Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dede Yusuf Minta Pemerintah Dorong Pekerja Migran di Sektor Formal

Kompas.com - 31/12/2017, 10:30 WIB
Ihsanuddin

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf meminta pemerintah mesti melakukan perbaikan secara terus menerus terhadap kualitas pekerja migran Indonesia. Sehingga, secara bertahap akan terjadi pergeseran pekerja migran Indonesia dari sektor informal ke sektor formal. 

"Hal ini perlu dan penting dilakukan mengingat pekerja migran Indonesia yang bekerja pada sektor informal yang paling banyak menghadapi masalah," kata Dede Yusuf dalam keterangan tertulisnya, Minggu (31/12/2017).

Dede menyesalkan sepanjang tahun 2017 ini, pekerja migran Indonesia di sektor formal terus menurun ke angka 47 persen. Sebaliknya, pekerja migran di sektor informal naik ke angka 53 persen.

"Penurunan komposisi pekerja yang bekerja sektor formal, tentunya akan menjadi tantangan bagi pemerintah sehubungan dengan upaya untuk terus mendorong peningkatan penempatan pekerja migran di sektor formal," kata politisi Partai Demokrat ini.

Baca juga : PRT Tak Punya Jam Kerja Jelas, Eks Buruh Migran Ini Mengadu ke PBB

Dede mengatakan, tantangan untuk mendorong pekerja migran formal memang tidak mudah bila melihat latar belakang pendidikan para pekerja migran Indonesia.

Data BNP2TKI menunjukkan, dari total 238.467 pekerja migran yang ditempatkan hingga November 2017, sebanyak 70 persen berpendidikan SD – SMP, 27 persen SMU dan hanya 3 persen Diploma – S1. 

Oleh karena itu, mantan wakil gubernur Jawa Barat ini meminta, agar pemerintah melakukan perbaikan secara terus menerus terhadap kualitas pekerja.

Baca juga : Soal Perlindungan Buruh Migran, Pemerintah Pusat Tertinggal dari Pemerintah Desa

Dede menegaskan, para pekerja migran Indonesia masih memiliki posisi strategis bagi negara.

Data Bank Indonesia (BI), jumlah kiriman uang pekerja migran Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Pada tahun 2014, sumbangan pekerja migran Indonesia bagi devisa negara sebesar Rp 114 Triliun dan meningkat sebesar 33 persen pada tahun 2016 menjadi Rp 152 Triliun.

"Mereka tidak hanya menjadi solusi bagi tidak cukupnya ketersediaan lapangan kerja di tanah air, tapi juga menjadi pahlawan bagi keluarga dan pahlawan bagi devisa negara," ucap Dede.

Kompas TV Cerita miris kembali menimpa Tenaga Kerja Indonesia. Sri Rabitah, TKI asal Dusun Lokok Ara, Desa Sesait, Kecamatan Kayangan, Lombok Utara, harus hidup dengan satu ginjal. Diduga, Sri kehilangan ginjalnya saat bekerja di Doha Qatar beberapa tahun lalu. Satu minggu setelah bekerja, Sri dibawa oleh sang majikan untuk pemeriksaan kesehatan karena dianggap kondisinya lemah. Sri dibawa ke ruang operasi dengan alasan untuk mengangkat penyakitnya. Ia disuntik hingga tak sadarkan diri. Setelah seminggu dioperasi, Sri malah dikembalikan ke agen tenaga kerja dan kemudian dipulangkan ke tanah air tanpa gaji karena dianggap tak bisa bekerja. Selama tiga tahun di rumah, Sri sering mengalami sakit-sakitan sehingga ia melakukan cek kesehatan ke RSUD Tanjung, Lombok. Setelah diperiksa dan melihat hasil rongen, ternyata ginjal sebelah kanan Sri tidak ada dan sudah diganti dengan pipa plastik. Menurut pusat bantuan hukum buruh migran wilayah NTB, kasus pencurian organ kerap dialami TKI dan TKW. Namun, selama ini tak pernah ada yang bisa memberi kesaksian. Saat ini, Sri sedang menunggu jadwal operasi untuk mengangkat pipa yang ada di tubuhnya. Namun, Sri juga risau menghadapi risiko operasi yang akan ia jalani. Dari kasus Sri ini, diharapkan pemerintah tergerak untuk membongkar mafia pencurian organ yang banyak menimpa para pekerja migran kita.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com