JAKARTA, KOMPAS.com - Delegasi masyarakat sipil akan turut hadir dalam Sidang ke-27 Komite Perlindungan Pekerja Migran Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berlangsung di Jenewa, Swiss, pada 4-13 September 2017.
Agenda sidang dalam sesi itu yaitu kajian Komite atas laporan inisial tiga negara pihak Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-hak Seluruh Migran dan Anggota Keluarganya, yakni Equador, Indonesia, dan Mexico.
Perwakilan organisasi masyarakat sipil dari masing-masing negara dijadwalkan akan memberikan pernyataan yang berisikan fokus dari laporan alternatif yang dikumpulkan kepada Komite.
Dari Indonesia, tiga organisasi yang akan memberikan pernyataan tersebut yaitu Anis Hidayah dari Migrant CARE, Celine Dermine dari Pathfinders, serta Sarah Brooks dari International Service for Human Rights.
(Baca: Ribuan Buruh Migran di Malaysia Hadapi Ancaman Deportasi)
Anis dari Migrant CARE melihat pemerintah Indonesia lamban dalam membuat kebijakan perlindungan pekerja migran yang sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM).
"Pemerintah baru mengirimkan laporan inisial pada perdana pada tahun ini, padahal semestinya pemerintah mengirimkannya pada 2013, atau setahun setelah Indonesia meratifikasi Konvensi Internasional untuk Perlindungan Hak-hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya," kata Anis dalam sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu (2/9/2017).
Itupun, kata dia, laporannya hanya berisikan aktivitas rutin dan bukan merupakan inisiatif baru yang sesuai dengan tuntutan ratifikasi Konvensi Internasional untuk Perlindungan Hak-hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya.
Anis mengatakan, oral statement yang akan disampaikan di hadapan Komite akan menjadi informasi alternatif bagi Komite untuk mengkaji laporan pemerintah, dan menyusun rekomendasi di akhir sesi.
(Baca: Kisah Buruh Migran Memburu Kedatangan Jokowi di Hong Kong)
"Kami berharap rekomendasi yang dihasilkan benar-benar mendorong pemerintah Indonesia lebih visioner, bagaimana membangun kebijakan migrasi yang lebih menghormati HAM," imbuh Anis.
Selain itu, dia juga berharap PBB dapat mendesak pemerintah untuk membangun tata kelola migrasi yang lebih transparan, akuntabel, dan menghormati perempuan. Pasalnya, kata Anis, mayoritas buruh migran adalah perempuan.
Selama ini, mereka banyak menjadi korban perbudakan, terancam hukuman mati, dan meninggal dunia.
"Kasus-kasus itu kami tonjolkan agar mendorong pemerintah segera membangun sistem migrasi aman di Indonesia yang murah, tetapi sistem itu dibangun dari mana mereka berasal, dari desa," imbuh Anis.
Atas dasar itu, lanjut Anis, delegasi organisasinya juga mengajak perwakilan dari desa yang sudah membuat kebijakan perlindungan pekerja migran di tingkat desa dan kabupaten.
"Kami ada perwakilan dari desa untuk memberikan contoh bahwa ini sudah ada, tetapi bagaimana ini didorong sebagai suatu kebijakan nasional," pungkasnya.
Selain Anis, Delegasi Migrant CARE juga akan membawa enam orang sipil untuk berbicara di Jenewa yaitu Melanie Subono selaku ambassador Migrant CARE, Alex Ong dari Migrant CARE Malaysia, Siti Badriyah sebagai mantan buruh migran, Saverrapal Sakeng Corvandus dari YKS Lembata, Mulyadi dari SARI Solo, serta Miftahul Munir dari sebagai Kepala Desa Dukuh Dempok, Jember.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.