Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Empat Hakim MK Beda Pendapat soal Putusan Uji Materi Pasal Kesusilaan di KUHP

Kompas.com - 14/12/2017, 16:31 WIB
Kristian Erdianto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutus menolak permohononan uji materi Pasal 284, Pasal 285 dan Pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Ketiga pasal tersebut mengatur soal kejahatan terhadap kesusilaan.

Di balik putusan tersebut, ada 4 hakim yang menyatakan dissenting opinion atau perbedaan pendapat.

Mereka adalah Arief Hidayat, Anwar Usman, Wahiduddin Adams, dan Aswanto.

Seperti diketahui, Mahkamah menyatakan dalam putusannya, secara substansial, pemohon meminta MK merumuskan tindak pidana baru yang merupakan wewenang pembentuk undang-undang.

"Produk hukum pidana lahir dari kebijakan pidana atau politik hukum pidana pembentuk undang-undang. MK tidak boleh masuk wilayah politik hukum pidana," tutur Hakim MK Maria Farida dalam sidang pleno di gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (14/12/2017).

Dalam permohonannya, pemohon yaitu Guru Besar IPB Euis Sunarti bersama sejumlah pihak, meminta agar pasal 284 tidak perlu memiliki unsur salah satu orang berbuat zina sedang dalam ikatan perkawinan dan tidak perlu ada aduan.

(Baca juga : MK Tolak Permohonan Uji Materi Pasal Kesusilaan di KUHP)

Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati (kanan) bersaksi dalam sidang terdakwa Hambit Bintih (kiri) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (16/1/2014). Hambit Bintih diduga memberi suap kepada mantan Ketua MK untuk pengurusan sengketa Pilkada Gunung Mas. TRIBUNNEWS/DANY PERMANA TRIBUNNEWS/DANY PERMANA Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati (kanan) bersaksi dalam sidang terdakwa Hambit Bintih (kiri) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (16/1/2014). Hambit Bintih diduga memberi suap kepada mantan Ketua MK untuk pengurusan sengketa Pilkada Gunung Mas. TRIBUNNEWS/DANY PERMANA

Keempat hakim itu menyatakan pendapat bahwa Pasal 284 KUHP jelas mempersempit ruang lingkup dan bahkan bertentangan dengan konsep persetubuhan terlarang (zina) menurut nilai agama yang hidup dan berkembang di masyarakat yang sejatinya lebih luas.Konsep zina seharusnya meliputi baik persetubuhan di luar perkawinan yang dilakukan oleh pihak yang terikat perkawinan maupun persetubuhan yang dilakukan oleh pihak yang tidak terikat perkawinan.

"Dalam kehidupan masyarakat di nusantara jauh sebelum dilakukannya konkordansi Wetboek van Strafrecht oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, zina merupakan perbuatan yang sangat tercela dan tidak pernah dipandang sebagai perbuatan yang hanya berdimensi privat. Setiap perbuatan tercela yang dilakukan oleh individu, khususnya zina, senantiasa dianggap menimbulkan dampak negatif secara komunal," ujar Hakim Aswanto.

(Baca juga : Tanpa Aduan, Penanganan Kasus Kesusilaan Berpotensi Kriminalisasi)

Di sisi lain, dalam ajaran agama manapun yang hidup dan berkembang di Indonesia, zina merupakan perbuatan yang sangat tercela.

Dalam ajaran Islam, ruang lingkup ketercelaan perbuatan zina jelas meliputi adultery (perselingkuhan) dan fornication (hubungan seksual di luar nikah).


Homoseksual
Sementara pada pasal 292, pemohon meminta dihapuskannya frasa "belum dewasa", sehingga semua perbuatan seksual sesama jenis dapat dipidana. Selain itu, homoseksual haruslah dilarang tanpa membedakan batasan usia korban, baik masih belum dewasa atau sudah dewasa.

Terkait pasal ini, keempat hakim konstitusi tersebut berpendapat bahwa praktik homoseksualitas merupakan salah satu perilaku seksual yang secara intrinsik, manusiawi, dan universal sangat tercela menurut hukum agama dan sinar Ketuhanan.

"Pasal 292 KUHP seharusnya dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," tutur Aswanto.

(Baca juga : Mengapa Persidangan Kasus Kejahatan Kesusilaan Berlangsung Tertutup?)

Terkait pasal 285, pemohon meminta MK menyatakan bahwa pemerkosaan mencakup semua kekerasan atau ancaman kekerasan untuk bersetubuh, baik yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan maupun yang dilakukan oleh perempuan terhadap laki-laki.

Namun, secara bulat, MK menilai dalil para pemohon tersebut tidak beralasan menurut hukum. Dalam pertimbangannya MK menjelaskan, pada prinsipnya pemohon meminta Mahkamah memperluas ruang lingkup karena sudah tidak sesuai dengan masyarakat.

Hal itu berakibat pada perubahan hal prinsip atau pokok dalam hukum pidana dan konsep-konsep dasar yang berkenaan dengan suatu perbuatan pidana.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Nasional
Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Nasional
Soal 'Presidential Club', Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Soal "Presidential Club", Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Nasional
Tanggapi Isu 'Presidential Club', PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Tanggapi Isu "Presidential Club", PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Nasional
Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Nasional
Golkar: 'Presidential Club' Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Golkar: "Presidential Club" Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Nasional
Jokowi Diprediksi Gandeng Prabowo Buat Tebar Pengaruh di Pilkada 2024

Jokowi Diprediksi Gandeng Prabowo Buat Tebar Pengaruh di Pilkada 2024

Nasional
Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

Nasional
Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di 'Presidential Club'

Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di "Presidential Club"

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com