JAKARTA, KOMPAS.com - Politisi senior Partai Golkar Ginanjar Kartasasmita mengakui bahwa ada komunikasi di antara senior-senior partai berlambang beringin itu terkait proses hukum yang menjerat Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto.
Novanto telah ditetapkan sebagai tersangka untuk kasus korupsi proyek KTP elektronik atau e-KTP. Saat ini, Novanto masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Dengan kata lain, Novanto berstatus buron alias orang yang sedang dicari atas pengusutan suatu perkara pidana.
"Memang ada komunikasi di antara kami. Secara jujur kami lakukan ada," kata Ginanjar seusai menghadiri Sarasehan DPD RI, Jumat (17/11/2017).
Ginanjar menambahkan, situasi terkini yang menimpa Novanto membuat para senior khawatir dengan kondisi partai. Ini terutama dengan elektabilitas partai yang terus menurun.
Meskipun, belum dapat dipastikan bahwa penurunan elektabilitas tersebut dikarenakan status hukum Novanto.
"Semua concern lah. Bagaimana tidak concern kalau Ketum-nya ada masalah," tuturnya.
(Baca juga: Penangkapan Novanto Semestinya Jadi Momentum DPR dan Golkar Berbenah)
Menurut dia, Partai Golkar memiliki mekanisme partai seperti dewan pembina, dewan kehormatan dan dewan pakar yang ditempati oleh para senior partai.
"Aspirasi senior bisa disalurkan melalui itu," kata mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri era BJ Habibie itu.
(Baca juga: Ketua Fraksi Golkar Tak Permasalahkan jika Novanto Berstatus Buronan)
KPK menetapkan kembali Novanto sebagai tersangka pada Jumat pekan lalu. Novanto lolos dari status tersangka dalam penetapan sebelumnya setelah memenangi gugatan praperadilan terhadap KPK.
Dalam kasus ini, Novanto bersama sejumlah pihak diduga menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi.
Adapun sejumlah pihak itu antara lain Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudihardjo, pengusaha Andi Agustinus atau Andi Narogong, dan dua mantan Pejabat Kemendagri Irman dan Sugiharto.
Novanto juga diduga menyalahgunakan kewenangan dan jabatan saat menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar. Akibat perbuatannya bersama sejumlah pihak tersebut negara diduga dirugikan Rp 2,3 triliun pada proyek senilai Rp 5,9 triliun tersebut.