JAKARTA, KOMPAS.com — Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengatakan, surat Ketua DPR Setya Novanto yang dikirim oleh Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR kepada Komisi Pemberantasan Korupsi sudah dibahas dalam rapat pimpinan.
Surat tersebut berisi alasan Novanto tak hadir dalam pemeriksaan KPK sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi proyek e-KTP dengan tersangka Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudihardjo.
Surat tersebut menyatakan, pemeriksaan Novanto sebagai anggota DPR harus seizin Presiden.
"Pernah berkali-kali kami rapatkan soal (surat) ini," kata Fahri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (8/11/2017).
Baca: Hanya Setya Novanto yang Bisa...
Menurut Fahri, surat tersebut sah dikirimkan Setjen DPR kepada KPK karena Novanto selaku anggota DPR memiliki hak perlindungan sebagaimana tertera dalam Pasal 224 Ayat 5 dan 245 Ayat 1 Undang-Undang No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3).
Menurut dia, pimpinan DPR sejak lama menggelar rapat membahas surat tersebut.
"Ini rapimnya sudah lama, dan membahas tentang apa rekomendasi biro hukum terhadap pembatalan Pasal 245 ini yang seingat saya Biro Hukum mengatakan itu. Nah ketika pandangan hukum itu dipakai, ya memang menurut saya benar," lanjutnya.
Sedianya, pada Senin (6/11/2017) lalu, Novanto dijadwalkan menjalani pemeriksaan sebagai saksi dalam kasus e-KTP.
Baca juga: Benarkah KPK Butuh Izin Presiden untuk Periksa Setya Novanto?
Ia beralasan, sebagai anggota DPR pemanggilannya oleh KPK membutuhkan izin dari Presiden sebagaimana tercantum dalam UU No 17 Tahun 2014 tentang MD3.
Novanto lantas mengirimkan surat kepada KPK melalui Setjen DPR.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengungkapkan, dalam surat itu ada lima poin pokok pada surat dari DPR untuk KPK terkait pemanggilan Novanto.
Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menilai, Setya Novanto melakukan blunder.
Sebab, pada Pasal 245 Ayat (3) huruf c disebutkan bahwa ketentuan pada Ayat (1) tidak berlaku terhadap anggota DPR yang disangka melakukan tindak pidana khusus.
"Korupsi adalah tindak pidana khusus bahkan dilabeli sebagai extra ordinary crime. Jadi tidak ada alasan bagi Ketua DPR untuk mangkir dari pemeriksaan KPK," kata Refly di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (6/11/2017).
Ia menilai, pihak Novanto kurang cermat karena hanya melihat satu ayat pada pasal tersebut.
"Saya kira sangat blunder dan menurut saya staf-stafnya tidak membaca ini secara cermat," lanjut dia.