JAKARTA, KOMPAS.com - Hakim Kusno yang memimpin sidang gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menilai, waktu penetapan tersangka tidak harus di akhir penyidikan.
Hal itu dikatakan Kusno saat menjadi hakim tunggal praperadilan yang diajukan Direktur PT Diratama Jaya Mandiri, Irfan Kurnia Saleh.
Irfan mengajukan gugatan praperadilan atas penetapan dia sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait pembelian heli Agustawestland (AW) 101.
"Penetapan tersangka itu ya bergantung kasusnya. Bisa di awal, di tengah, atau di akhir penyidikan," kata Kusno.
Wakil Ketua PN Jaksel tersebut mengatakan, waktu penetapan tersangka tidak sama pada setiap kasus.
(Baca: Kontroversi Pembelian Helikopter AW-101)
Sebagai contoh, apabila di tengah persidangan terjadi pembunuhan dan disaksikan banyak orang maka penyidik dapat segera menerbitkan surat perintah penyidikan.
Menurut Kusno, saat itu juga penyidik sudah bisa menetapkan tersangka pelaku pembunuhan.
Sebelumnya, di dalam persidangan, ahli hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta Chairul Huda, menyebutkan bahwa waktu penetapan tersangka dilakukan di akhir penyidikan.
Penetapan tersangka dilakukan setelah bukti-bukti terpenuhi dalam tahap penyidikan.
Dalam kasus ini, TNI menetapkan lima orang tersangka dari jajarannya. Sementara, KPK hanya menetapkan satu tersangka, yakni Irfan, sebagai pihak swasta.
(Baca juga : KPK Tegaskan Kewenangan Bersama TNI Usut Kasus Pembelian Helikopter AW 101)
Salah satu aspek yang dipersoalkan Irfan dalam gugatan praperadilan adalah mekanisme koneksitas dalam penanganan perkara yang diduga melibatkan sipil dan militer.
Pembelian helikopter ini bermasalah karena adanya dugaan penggelembungan dana dalam pembelian helikopter tersebut.
Awalnya, pengadaan dikhususkan pada heli jenis VVIP untuk keperluan presiden. Anggaran untuk heli tersebut senilai Rp 738 miliar.
Meski ditolak oleh Presiden Joko Widodo, pembelian heli tetap dilakukan. Jenis heli diubah menjadi heli untuk keperluan angkutan.
Selain itu, heli yang dibeli tersebut tidak cocok dengan spesifikasi yang dibutuhkan TNI Angkatan Udara. Misalnya, heli tidak menggunakan sistem rampdoor.
Hasil perhitungan sementara ditemukan kerugian negara sekitar Rp 224 miliar dari nilai proyek Rp 738 miliar tersebut.