Pengguna internet di Indonesia ternyata menempati ranking 4 dunia untuk waktu yang dihabiskan berselancar. Pengguna laptop atau desktop rata-rata menghabiskan 4 jam 48 menit dalam sehari untuk memelototi layar monitornya.
Sementara, pengguna smartphone rata-rata menghabiskan 3 jam 55 menit untuk memelototi layar ponselnya.
So, bisa dibayangan, waktu yang dihabiskan untuk berinternet ria mencapai seperenam waktu dalam sehari. Seperenam waktu itu tersebar di sela-sela aktivitas harian, termasuk di rentang 8 jam waktu di kantor, bukan 8 jam kerja lho ya.
Lha wong di kantor juga kerjanya jualan online, milih barang dan belanja online, Facebook-an, Instagram-an, Twitter-an, download film serial, dan antem-anteman soal politik di kolom komentar media sosial. Kadang waktu tidur pun dikorbankan untuk berselancar di internet.
Upaya menertibkan
Secara positif, tujuan Pemerintah memang baik untuk menertibkan semrawutnya data pengguna seluler dan internet.
Apalagi dalam lima tahun belakangan ini, semenjak Pilgub DKI 2012, disusul Pilpres 2014, Pilgub DKI 2017, kita semua menyaksikan dan sangat mahfum betapa meluasnya hoaks, kegaduhan politik, antem-anteman tidak jelas, kekisruhan di media sosial yang online berlanjut ke offline sehingga membuyarkan pertemanan, persahabatan bahkan pertalian keluarga.
Saracen yang digulung pemerintah memiliki ribuan nomor seluler untuk menjalankan aksinya sesuai pesanan politik pelanggannya. Belum lagi aksi-aksi teror dan kejahatan yang dikoordinasikan dengan baik via seluler dengan semua data fiktif pengguna.
Dengan melakukan registrasi ulang, pemerintah akan memiliki database yang luar biasa besar data (yang mungkin lebih) akurat tentang profil pengguna seluler.
Untuk yang belum memiliki KTP, registrasi ulang harus dengan NIK (Nomor Induk Kependudukan) yang notebene berarti mendaftarkan nomor KTP seluruh anggota keluarga.