JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota DPR RI dari Fraksi PDI-P Arteria Dahlan tidak sepakat dengan sejumlah kelompok masyarakat yang berpendapat bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Masyarakat (Perppu Ormas) merupakan wujud sikap otoriter Presiden Joko Widodo.
Menurut Arteria, kepemimpinan Presiden Jokowi tidak bisa disamakan dengan rezim sebelumnya, yakni kepemimpinan Presiden Soeharto.
"Saya katakan Pak Jokowi ini jauh berbeda. Jadi Presiden hari ini tiap hari di-bully di medsos. Rakyatnya berani," ujar Arteria dalam diskusi di Megawati Institute, Jakarta Pusat, Selasa (17/10/2017).
"Iklim sudah berubah jauh. Kalau mengatakan perppu ini bentuk otoriter pemerintah itu salah," kata dia.
Arteria pun mengungkapkan alasan kenapa Perppu Ormas tak bisa dianggap otoriter. Pertama, Perppu Ormas tidak mengubah substansi mengenai aturan terkait pembentukan Perppu Ormas.
Perppu Ormas, kata Arteria, hanya mempertegas mengenai sanksi bagi ormas-ormas yang berideologi anti-Pancasila.
"Materi muatan yang di UU lama kan tidak diubah. Hanya kalau ada sanksi diefektifkan. Perppu tidak mengubah syarat pembentukan ormas. Itu kan tidak diubah sama sekali, yang diubah hanya Pasal 59, menambahkan dan mempertegas soal sanksi. Lebih efektif," tuturnya.
(Baca juga: Perwakilan Muhammadiyah Minta DPR Tidak Mengesahkan Perppu Ormas)
Selain itu, lanjut Arteria, sejak UU Ormas dibuat dan Perppu Ormas diterbitkan, tidak banyak ormas yang dibubarkan oleh pemerintah.
Sementara, jumlah ormas yang ada di Indonesia berjumlah sekitar 349 ribu per 18 September 2017.
Di sisi lain, ormas yang dibubarkan oleh pemerintah masih memiliki kesempatan untuk menggugat kebijakan tersebut melalui pengadilan.
"Yang kena perppu ini bisa dihitung dengan jari. Ormas radikal sudah bisa dihitung oleh Kemendagri, apa pemerintah bubarkan? Yang kelewatan dan konyol, baru kita bubarkan," kata Arteria.